Ekonom Menurunnya performa perekonomian nasional dalam beberapa waktu terakhir sering diidentikkan dengan gejala pelambatan pertumbuhan ekonomi dan anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Gejala tersebut memang dinilai belum masuk pada sebuah fase krisis ekonomi. Meski demikian, pemerintah sebaiknya tidak bersikap terlalu percaya diri dan cukup puas dengan kondisi perekonomian saat ini. Sebab menjelang krisis 1998, perekonomian Indonesia juga tampil cukup meyakinkan dan bahkan dipuji oleh Bank Dunia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi ajaib. Oleh karenanya, pemerintah dihimbau untuk mengambil langkah-langkah yang taktis lewat kebijakan ekonomi yang mampu kembali menggairahkan perekonomian nasional.

Demikian seperti disampaikan oleh pakar ekonomi UII, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec dalam sesi diskusi terkini ekonomi yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Ekonomi UII. Diskusi yang berlangsung di RM. Padang Sederhana Jogja pada Jum’at (4/9) dihadiri oleh para pakar ekonomi UII, seperti Dr. Sahabudin Sidiq, MA dan juga para awak media.

“Pemerintah harus mengambil langkah untuk mereduksi dampak ekonomi eksternal yang berpengaruh pada perekonomian nasional. Hal ini salah satunya dapat dicapai dengan merevisi program yang boros devisa dan berdampak ganda. Ini lebih tepat daripada menyalahkan kebijakan ekonomi negara lain”, tutur Prof. Edy.

Di samping itu, pada level nasional menurut Prof. Edy, situasi sekarang adalah momentum yang tepat untuk mempercepat realisasi anggaran belanja infrastruktur. “Pembangunan infrastruktur akan menstimulus perekonomian yang lesu saat ini. Namun patut dicatat bahwa pembangunan infrastruktur jangan berbasis pada kepadatan penduduk tapi pada potensi ekonomi sehingga tidak hanya berpusat di Pulau Jawa”, tambahnya. Di level daerah, Prof. Edy juga menyorot maraknya kebijakan investasi keuangan daerah di sektor perbankan. Hal ini memerlukan pembatasan karena pada hakikatnya masyarakat juga memiliki hak atas dana tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan ekonomi lokal.

Sementara itu, pakar ekonomi UII lainnya, Dr. Sahabudin Sidiq, MA menilai tren pelemahan nilai tukar rupiah salah satunya disebabkan oleh tingginya permintaan mata uang dolar di dalam negeri saat ini. “Banyak perusahaan swasta nasional yang dalam jangka pendek harus membayar hutang dari luar negeri sehingga mempengaruhi permintaan dolar”, katanya.

Di sisi lain, tingginya ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku impor juga menjadi masalah tersendiri. “Industri dalam negeri kita masih bergantung pada sumberdaya yang tidak berasal dari negeri sendiri sehingga mereka sangat terhantam ketika terjadi penurunan nilai tukar rupiah”, tuturnya. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu memikirkan solusi jangka panjang untuk membangun industri bersifat resource based material yang dapat diperoleh dari pasokan dalam negeri.

Sumber: www.uii.ac.id

semata Akhir bulan Agustus menjadi awal bagi mahasiswa baru Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) untuk menapak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Perlu adanya perkenalan mengenai dunia kampus maupun dunia kemahasiswaan. SEMATA (Semangat Ta’aruf) 2015 yang mengusung tema Menanamkan Kesadaran dan Semangat Juang Mahasiswa sebagai Generasi Unggul untuk berkontribusi atas terwujudnya kemaslahatan umat, menjadi salah satu sarana yang di harapkan mampu mewujudkan generasi unggul. Hampir seluruh mahasiswa baru FE UII mengikuti rangkaian acara SEMATA yang di selenggarakan pada tanggal (30-31/8) bertempat di lapangan parkir FE UII. Uniknya, kegiatan kali ini lebih diminati pada hari terakhir dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Berbagai rangkaian acara dari pembukaan hingga penutupan terlihat berjalan lancar, Mahasiswa baru FE UII terlihat mengikuti berbagai kegiatan yang telah disusun oleh panitia, Seperti yangg disampaikan oleh M.B Hendrie Anto selaku ketua tim Monitor dan dosen FE UII, ” acara semata kali ini lebih menciptakan suasana santai, memang belum ideal tapi lebih soft.” Selain itu, acara SEMATA kali ini memang lebih menghormati waktu beribadah. Tidak terdengarnya teriakan dari panita ke mahasiswa baru sehingga memang terlihat lebih soft.

Selain itu, tradisi luhur yangg memang ada dirangkaian kegiatan semata yaitu bakti sosial tetap akan dilaksanakan baik oleh panitia maupun peserta. Rencana untuk bakti sosial ini akan dialokasikan di daerah Bantul yang disalurkan oleh panitia. Sedangkan, untuk perwakilan mahasiswa baru dan panitia dilaksanakan di seturan yangg terjangkau secara waktu dan jarak.

Melalui SEMATA, para mahasiswa baru lebih bisa mengenal UKM dan organisasi-organisasi di Fakultas. Pengenalan UKM dan organisasi Fakultas tersebut menjadi pendukung mahasiswa untuk lebih mengenal aspek yang sesuai dengan soft skill mereka dari pada saat ospek universitas. Seperti yg Ryzka sampaikan sebagai salah satu mahasiswa baru, dia jadi memiliki pandangan UKM apa yang cocok dengan hobby dan bakatnya.

Adapun harapan untuk semata yang disampaikan oleh ketua tim monitor Semata, M.B Hendri Anto kedepannya Fakultas bisa bekerjasama dengan panitia agar semata kedepannya tidak hanya berfokus tentang mengenalkan dunia kemahasiswaan tetapi juga tentang dunia kampus FE UII secara lebih spesifik.

Rangkaian acara diakhiri dengan Closing Ceremony yang berlangsung cukup meriah dan dihadiri langsung oleh Dekan FE UII, Dwipraptono Agus Harjito dalam sambutannya beliau menyampaikan harapan untuk mahasiswa baru “semoga adik-adik semua mengikuti perkuliahan dengan baik setelah mengenal perkuliahan di Universitas dan Fakultas ” katanya. Selanjutnya penyerahan plakat secara simbolis oleh ketua SC kepada ketua OC sekaligus menutup rangakaian acara Semata 2015.

Purwoko 1 Salah satu kebijakan dalam pembangunan pertanian yang pernah diluncurkan pemerintah Indonesia adalah pengembangan pertanian organik melalui komitmen “Go Organik 2010”. Dalam komitmen ini dicanangkan bahwa pada tahun 2010 Indonesia akan menjadi produsen produk pertanian organik terbesar di dunia. Namun hingga saat ini target tersebut ternyata belum tercapai.

Penyebab tidak tercapainya komitmen pemerintah tersebut di antaranya adalah masih dilegalkannya peredaran pupuk kimia bahkan Indonesia masih sangat tergantung dengan pupuk kimia anorganik, sosialisasi terkait produk pertanian organik masih kurang sehingga konsumen tidak banyak memahami pentingnya mengkonsumsi produk pertanian organik. Selain itu, tidak terwujudnya komitmen pemerintah tersebut dikarenakan banyak petani yang menolak untuk memakai pupuk organik yang sebenarnya telah disubsidi oleh pemerintah.

Hal inilah yang mendorong Dr. Purwoko, SE.,MM., untuk meneliti penyebab munculnya sikap penolakan petani terhadap penggunaan pupuk organik dan menghantarkannya meraih gelar Doktor di Universitas Islam Indonesia. Dalam desertasinya yang dipresentasikan pada Ujian Terbuka Sidang Promosi Doktor di Fakultas Ekonomi UII, Selasa (1/9), Purwoko menyampaikan bahwa ia telah meneliti sekitar 200 petani di kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. “Setelah diteliti, ditemukan bahwa mayoritas perilaku penolakan petani tersebut lebih banyak disebabkan karena hasil panen pertama setelah menggunakan pupuk organik ternyata lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya saat para petani masih menggunakan pupuk kimia anorganik.” Papar Purwoko.

“Selain itu juga banyak yang tidak mau menggunakan pupuk organik karena dipengaruhi oleh petani lain yang pernah mencoba pakai pupuk organik dan mengalami kegagalan peningkatan hasil. Setelah banyak mendengar cerita kegagalan dari petani-petani tersebut akhirnya banyak petani yang terpengaruh sehingga para petani lebih memilih cara lama menggunakan pupuk anorganik tanpa memperhatikan dampaknya terhadap pencemaran tanah di masa yang akan datang.” Lanjut Purwoko.

Terkait rendahnya hasil panen para petani setelah menggunakan pupuk organik, Purwoko menjelaskan, “Untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hasil panen saat menggunakan pupuk kimia anorganik diperlukan setidaknya lima kali masa panen menggunakan pupuk organik, hal tersebut dikarenakan kualitas tanah baru dapat kembali setelah minimal lima kali masa panen.” Papar Purwoko.

Oleh karena itu, Purwoko berharap hasil penelitiannya tersebut dapat mendorong pemerintah untuk lebih serius mewujudkan komitmen menjadikan Indonesia sebagai produsen produk organik. “Demplot sebaiknya dilakukan minimal sampai lima kali masa panen, tidak hanya sekalik seperti yang selama ini dilakukan sehingga hasilnya belum maksimal.” Tegas Purwoko.

Di samping itu, ketika petani menggunakan pupuk organik namun hasil panennya lebih rendah dari tahun sebelumnya maka pemerintah harus berani mengganti kekurangan hasil panen petani. “Jika pemerintah serius ingin menjalankan program ini maka harus berani mengganti kekurangan hasil panen petani, misalkan tahun ini 8 ton setelah menggunakan pupuk organik hasil panen pertama kurang dari 8 ton maka pemerintah mengganti 2 ton kekurangannya.” Lanjut Purwoko.

“Anggaran kita yang besar itu saya rasa cukup jika difokuskan untuk hal tersebut. Pemerintah juga perlu mmbantu pemasarannya produk organik petani dan menghargai hasil panen dengan harga yang layak. Dengan demikian para petani akan tertarik untuk menggunakan pupuk organik dengan sendirinya” Jelas Purwoko.

sumber: www.uii.ac.id