, ,

Implikasi Dompet Digital Ancam Latter Factor Gen Z, Benarkah ?

Hendy Mustiko Aji, Dosen Manajemen Pemasaran, Prodi Manajemen, FBE UII

Kemajuan teknologi di era sekarang ini dapat memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk menjalankan berbagai macam aktivitas, salah satunya aktivitas berbelanja. Latte Factor yang sering kali dianggap sebagai penyebab kewaspadaan generasi Z dalam merancang anggaran pengeluarannya, membuat generasi tersebut harus lebih peka dengan latte factor ini, terlebih dengan adanya fasilitas dompet digital yang tersedia. 

Siapa itu generasi Z ?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai generasi z, kita harus mengerti dan mengenal apa yang dimaksud dengan generasi z sendiri. Generasi z adalah manusia yang lahir dari tahun 1995 – 2010. Dimana kategorisasi generasi berdasarkan kesamaan cohort atau perilaku, termasuk perilaku spending atau pengeluaran.

Apa itu Latte Factor?

Selanjutnya pembahasan mengenai latte factor yaitu suatu pengeluaran kecil yang memiliki sifat konsisten dan dilakukan dengan kebiasaan. Hal tersebut sangat tidak baik karena akan menyebabkan dampak buruk ketika hal kecil yang selalu dilakukan dan menjadi kebiasaan dalam jangka waktu yang lama akan menumpuk. “Istilah latte factor diperkenalkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh David Bach & John Mann berpendapat bahwa jika setiap orang tersebut terbiasa mengeluarkan uang dengan jumlah yang kecil dan konsisten setiap hari maka akan membengkak di akhir,” jelas Hendy Mustiko Aji sebagai pembicara Ruang Gagasan kali ini.  “Contoh dari latte factor yang disebutkan oleh David Bach & John Mann adalah kopi. Latte factor juga dapat berupa hal apapun yang berbentuk dengan biaya yang dapat dikatakan kecil, contohnya seperti membayar admin bank,” imbuhnya.

Dompet Digital, Latte Factor dan Gen Z

Dompet digital merupakan suatu aplikasi elektronik yang dapat dipergunakan dalam pembayaran transaksi secara online. Di Indonesia sendiri dompet digital sudah menjadi alat pembayaran umum di masyarakat luas. Contoh dari Dompet digital ini seperti OVO, Shopee Pay, Dana, dan sebagainya. 

Dompet Digital Dapat Men-Trigger Pengeluaran Kecil (Latte Factor). 

“Berdasarkan Mobile Wallets Report 2021, e-wallets di Indonesia dikuasai OVO (38.2%), ShopeePay (15.6%), LinkAja (13.9%), Go-Pay (13.2%), DANA (12.2%). Total pengguna dompet digital ini sebanyak sebanyak 60 juta pengguna dalam satu tahun, dengan total transaksi per tahun kurang lebih USD 28 miliar dengan 1.7 miliar kali transaksi,” jelas Hendy Mustiko Aji.  Hal ini terlihat sangat berdampak, sehingga terdapat kaitan antara dompet digital dan pengeluaran.

Dompet Digital Membuat Gen Z Tidak Merasakan Pain of Paying

Kemudahan dalam bertransaksi dengan adanya dompet digital ini membuat Gen Z tidak merasakan Pain of Paying. Pada suatu literatur penelitian menyebutkan bahwa, apabila seseorang menggunakan alat pembayaran dengan sifat tidak berbentuk fisik, maka seseorang itu tidak akan merasakan pain of paying atau penderitaan dalam membayar.

Dompet Digital Membuat Gen Z Terjebak Ilusi Likuiditas

Ketidakdapatan wujud fisik dari alat pembayaran ini membuat Gen Z merasakan adanya konsep ilusi likuiditas. Ilusi likuiditas ini menimbulkan perasaan apabila seseorang memiliki uang yang likuid atau banyak, dimana operasi pembayaran muncul secara sederhana.

Solusi Agar Tidak Terjebak Dalam Latte Factor

Beberapa poin yang dapat dilakukan Gen Z tidak terjebak dalam pemborosan, yang pertama adalah Self-Control dimana seseorang dapat hidup secara sederhana dan merasa cukup. Yang kedua seseorang bisa membuat anggaran ketat, apabila anggaran tersebut bersifat fleksibel akan membuat pengeluaran kecil-kecil bisa menjadi meluap. Yang ketiga, jangan simpan banyak uang di dompet digital karena akan cenderung tidak merasakan pain of paying hingga ilusi likuiditas. (DLS/ZM)