Menilik Pengaruh Omnibus Law Terhadap Perpajakan Internasional
Perpajakan Indonesia merupakan salah satu sumber pendapatan Indonesia. Saat ini Pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan telah mengesahkan naskah RUU Omnibus Law Perpajakan ke dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap dapat menjadi solusi akan kondisi ekonomi Indonesia. Pengesahan tersebut memberikan dampak terhadap perpajakan internasional guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pembahasan tersebut yang melatarbelakangi Program Magister dan Doktor Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (FBE UII) menggelar serial webinar #2 yang bertajuk “Dampak Omnibus Law Terhadap Perpajakan Internasional”. Serial webinar pada kali ini dibersamai oleh moderator Hersona Bangun, SH., SE., Ak., BKP., M.Ak., CLA., Asean CPA selaku Konsultan Pajak HTC Training & Consulting serta narasumber Prof.Dr.P.M. John L Hutagol, M.Ec. (Acc)., M.Ec (Hons)., Ak.,CA selaku Direktur Perpajakan Internasional pada Selasa (1/12).
Direktur Perpajakan Internasional, Prof. Dr.P.M. John L Hutagol, M.Ec. (Acc)., M.Ec., (Hons)., Ak., CA menyebutkan bahwa semakin banyak insentif pajak yang digunakan wajib pajak diharapkan dapat mengalami pertumbuhan ekonomi di tahun 2021. John juga menjelaskan bahwa pemerintah dalam rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2021 telah menetapkan untuk melanjutkan program ekonomi nasional dengan mengalokasikan anggaran ke berbagai sektor khususnya sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Program ekonomi nasional bertujuan melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan para pelaku usaha dapat ekonomi dalam menjalankan usahanya ditengah tekanan dampak Covid-19.
Selain itu, John menyebutkan beberapa insentif dan fasilitas perpajakan yang tersedia sampai Desember 2020 antara lain Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah bagi pegawai yang bekerja pada pemberi kerja dalam 1189 jenis industri tertentu, kemudian PPh final ditanggung pemerintah bagi usaha UMKM, pembebasan PPh pasal 22 impor bagi usaha di 721 sektor serta pengurangan besarnya angsuran PPh pasal 25. “Pemerintah memberikan keringanan untuk membantu likuiditas dari wajib pajak dan fasilitas kemudahan pemberian restitusi kepada pengusaha kena pajak dengan resiko yang rendah,” jelas John.
“Dalam kondisi pandemi Covid-19, Pemerintah tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan memberikan fasilitas Alat Pelindung Diri (APD) dalam menanggulangi pandemi serta pemerintah menurunkan tarif untuk PPh badan secara gradual hingga tahun 2022,” tutur John.
“Saat ini Pemerintah sangat fokus dan berupaya terhadap stabilitas pemulihan ekonomi secara nasional hingga bisa dikembalikan seperti semula,” ujar Hersona selaku moderator memberikan kesimpulan yang menarik di penghujung acara. (ATE/DH)