Potong Gaji Menteri, Ditiru atau tidak ya?

Isu saham - Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII

Akhir – akhir ini dalam dunia keuangan sedang dihebohkan mengenai masalah pemotongan gaji menteri di Malaysia. Dilansir dari beberapa sumber pemotongan gaji sebesar 10% ini merupakan tindakan penghematan sekaligus untuk membiayai utang negara. Perdana Menteri Malaysia menyatakan bahwa utang negara mereka sudah membengkak dan mencapai angka 1 Triliun Ringgit atau 3500 Triliun Rupiah jika di kurskan ke mata uang rupiah. Sehingga diperlukan cara untuk mengurangi hutang yang sudah membengkak ini. Menurut Mahathir, jika terjadi permasalahan seperti ini ia akan melakukan cara yang sama seperti yang telah diterapkan sebelumnya di tahun 1981 pada saat ia menjabat sebagai menteri juga. Selain itu, pemotongan gaji menteri ini dipilih juga bertujuan untuk membantu keuangan negara dan mengurangi pembelanjaan pemerintah. Dengan begitu, apakah Indonesia perlu menerapkan hal yang sama seperti Malaysia?

Tak dipungkiri dalam membiayai kegiatan operasionalnya, pemerintah memerlukan dana yang cukup besar. Sumber dana yang diperoleh bisa berasal dari pendapatan negara dan pinjaman atau utang. Dalam Kompas.com, Sri Mulyani Ramainya perbincangan mengenai utang pemerintah mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara. Dia pertama-tama mengajak masyarakat memahami terlebih dahulu utang sebagai satu dari sekian instrumen pengelolaan keuangan dan perekonomian negara.

“Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus ikut diperhatikan,” kata Sri Mulyani menyatakan bahwa sebetulnya ia tak menyukai yang namanya berutang, tetapi bagaimana jika belanja pemerintah lebih besar dibandingkan pendapatannya? Menteri keuangan terbaik di Asia Pasifik ini menyatakan bahwa upaya terbaik untuk menanggulangi kejadian seperti ini adalah mengurangi rasio utang dengan cara meningkatkan pendapatan Negara.

Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan Pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan. Dengan demikian kita melihat masalah dengan lengkap dan proporsional. Misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.

Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017. Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang.

Dilansir dari KOMPAS.com, menurut Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Indonesia sesungguhnya memungkinkan jika pembangunan di Indonesia dilakukan tanpa menggunakan hutang. Namun tentu ada kosekuensi nya, yaitu akan banyak anggaran yang akan dipangkas. Dia juga mencontohkan penerimaan negara tahun 2017 sebesar Rp 1.736 triliun, dan belanja negara sebesar Rp 2.133,2 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran pada 2017 diperkirakan Rp 397,2 triliun atau 2,92 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jika ingin Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tanpa utang maka Kementerian Keuangan harus memotong sekitar Rp 397,2 triliun. Adapun hingga Juni 2017, utang pemerintah tercatat mencapai Rp 3.706,52 triliun. Padahal, di sisi lain, banyak kementerian dan lembaga yang meminta peningkatan anggaran dalam pos mereka masing-masing. Ibu Sri Mulyani juga menghimbau, masyarakat agar tak khawatir terhadap kebijakan pemerintah untuk berutang. Sebab,utang merupakan responsibility choice dan strategi agar keuangan negara tetap stabil, namun seluruh kebutuhan masyarakat tetap bisa terpenuhi.