Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah ﷻ yang telah memberi kita kesehatan dan kesempatan untuk beramal. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan kita semua sebagai umatnya hingga akhir zaman.

Jama’ah yang dimuliakan Allah,
Setiap profesi yang kita jalani, baik sebagai guru, petani, pedagang, pegawai, ataupun apapun pekerjaan kita, pada hakikatnya adalah amanah. Mengapa? Karena pekerjaan itu adalah titipan Allah yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab, jujur, dan sungguh-sungguh. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, apapun profesi kita, kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ.

Jama’ah yang dirahmati Allah,
Selain amanah, profesi yang kita jalani juga bisa bernilai ibadah. Caranya adalah dengan:

  1. Niat ikhlas karena Allah, bukan semata-mata mencari harta atau kedudukan.
  2. Dilakukan dengan halal dan jujur, menjauhi riba, kecurangan, dan penipuan.
  3. Dijalankan dengan tanggung jawab, karena pekerjaan adalah bagian dari ibadah sosial yang memberi manfaat kepada orang lain.

Allah ﷻ berfirman:

“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.”
(QS. At-Taubah: 105)

Ayat ini mengajarkan bahwa Allah senantiasa mengawasi pekerjaan kita. Maka, jangan sampai profesi yang seharusnya menjadi jalan pahala justru berubah menjadi dosa karena kelalaian, ketidakjujuran, atau pengkhianatan terhadap amanah.

Hadirin sekalian,
Kesimpulannya: profesi adalah amanah, dan bila dikerjakan dengan niat yang benar serta cara yang halal, ia menjadi ibadah. Maka mari kita jalani profesi kita dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan, dan selalu berharap ridha Allah ﷻ.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah ﷻ yang telah memberi kita kesehatan dan kesempatan untuk beramal. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan kita semua sebagai umatnya hingga akhir zaman.

Jama’ah yang dimuliakan Allah,
Setiap profesi yang kita jalani, baik sebagai guru, petani, pedagang, pegawai, ataupun apapun pekerjaan kita, pada hakikatnya adalah amanah. Mengapa? Karena pekerjaan itu adalah titipan Allah yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab, jujur, dan sungguh-sungguh. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, apapun profesi kita, kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ.

Jama’ah yang dirahmati Allah,
Selain amanah, profesi yang kita jalani juga bisa bernilai ibadah. Caranya adalah dengan:

  1. Niat ikhlas karena Allah, bukan semata-mata mencari harta atau kedudukan.
  2. Dilakukan dengan halal dan jujur, menjauhi riba, kecurangan, dan penipuan.
  3. Dijalankan dengan tanggung jawab, karena pekerjaan adalah bagian dari ibadah sosial yang memberi manfaat kepada orang lain.

Allah ﷻ berfirman:

“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.”
(QS. At-Taubah: 105)

Ayat ini mengajarkan bahwa Allah senantiasa mengawasi pekerjaan kita. Maka, jangan sampai profesi yang seharusnya menjadi jalan pahala justru berubah menjadi dosa karena kelalaian, ketidakjujuran, atau pengkhianatan terhadap amanah.

Hadirin sekalian,
Kesimpulannya: profesi adalah amanah, dan bila dikerjakan dengan niat yang benar serta cara yang halal, ia menjadi ibadah. Maka mari kita jalani profesi kita dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan, dan selalu berharap ridha Allah ﷻ.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis: Hammam Dwi Riyanto (Staf Data Akdemik FBE UII)

Rasa cemas dan khawatir adalah bagian alami dari kehidupan manusia. Namun, jika berlebihan, keduanya dapat mengganggu ketenangan hati, kesehatan, dan ibadah. Islam memberikan panduan yang sangat indah untuk membantu umatnya mengelola perasaan ini agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah.

1. Menyadari Bahwa Semua Terjadi atas Kehendak Allah

Allah berfirman:

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.”
(QS. At-Taghabun: 11)

Meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena takdir Allah membantu hati lebih tenang. Kita belajar untuk menerima apa yang tidak bisa kita kendalikan.

2. Memperbanyak Dzikir dan Doa

Dzikir dan doa adalah obat hati yang paling ampuh. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa khusus untuk mengatasi kecemasan:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan cemas…”
(HR. Abu Dawud)

Membaca dzikir seperti hasbunallahu wa ni’mal wakil atau la hawla wa la quwwata illa billah dapat menenangkan jiwa yang gelisah.

3. Shalat sebagai Sumber Ketenangan

Shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sumber ketenangan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat; dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”
(QS. Al-Baqarah: 45)

Melaksanakan shalat dengan khusyuk membantu melepaskan beban pikiran dan mendekatkan kita pada Allah.

4. Mengelola Pikiran dan Hati

  • Hindari terlalu memikirkan hal yang belum terjadi.
  • Fokus pada usaha dan doa, bukan hanya pada hasil.
  • Bersyukur atas nikmat kecil maupun besar.

Islam mengajarkan untuk tawakal: berusaha sebaik mungkin, lalu menyerahkan hasilnya pada Allah.

5. Menjaga Kesehatan Fisik dan Sosial

Kecemasan juga bisa dipengaruhi oleh fisik dan lingkungan. Beberapa tips islami yang mendukung:

  • Menjaga pola makan dan tidur yang baik.
  • Berolahraga ringan seperti berjalan kaki atau olahraga sunnah (berenang, memanah, berkuda).
  • Bersilaturahmi dan berbagi cerita dengan teman atau keluarga yang bijak.

6. Mengingat Balasan dan Janji Allah

Ketika hati dilanda khawatir, ingatlah janji Allah bahwa setiap kesulitan akan diiringi kemudahan.

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 6)

Keyakinan ini menguatkan iman dan membantu kita melihat ujian sebagai cara Allah mengangkat derajat kita.

Tips Praktis Harian

Agar lebih mudah diterapkan, berikut rutinitas sederhana untuk menjaga ketenangan hati:

Pagi Hari

  • Bangun lebih awal untuk shalat Tahajud atau shalat Subuh berjamaah.
  • Membaca dzikir pagi: Bismillahilladzi la yadurru ma’asmihi…
  • Mengatur niat dan rencana harian sambil mengucap hasbunallahu wa ni’mal wakil.

Siang Hari

  • Luangkan 5–10 menit untuk istirahat dan berdzikir ketika beban pekerjaan meningkat.
  • Menjaga wudhu agar hati tetap tenang.
  • Membaca Al-Qur’an meski hanya beberapa ayat.

Malam Hari

  • Menutup hari dengan dzikir malam dan doa perlindungan.
  • Muhasabah (evaluasi diri), lalu serahkan semua hasil usaha hari itu pada Allah.
  • Tidur dalam keadaan berwudhu dan membaca doa tidur.

Mengatasi rasa cemas dan khawatir bukan berarti menghilangkannya sepenuhnya, tetapi mengelolanya agar tidak menguasai hati. Dengan memperkuat iman, memperbanyak dzikir, shalat, tawakal, dan menjalankan rutinitas harian yang menenangkan, hati akan lebih siap menghadapi tantangan hidup dengan lapang dada.

Penulis: Suci Nuraini – Staff Akademik Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII

Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin. Islam membawa rahmat dan kesejahteraam bagi seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan, jin, dan manusia. Islam mengajarkan pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan termasuk penggunaan sumber daya alam. Sumber daya alam merupakan kekayaan alam yang dihasilkan oleh makhluk hidup dan dimanfaatkan untuk mendukung keberlangsungan hidup manusia. Kesadaran akan menjaga alam menyebabkan lingkungan akan tetap lestari, sebaliknya perilaku merusak alam akan menjadikan alam menjadi terganggu akan kelestariannya. Keberlangsungan hidup di alam ini pun saling terikat jika salah satu komponen mengalami gangguan maka akan berpengaruh pada komponen lain.

Dalam perspektif islam, Alam semesta diartikan sebagai bentuk keagungan manusia kepada sang al-Khaliq. Allah Swt telah menciptakan alam semesta sebagaimana diatur dalam (Q.S. as-Sajdah [32]: 4) yang artinya, “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dalam waktu enam hari, kemudian dia bersemayam di atas Arsy. Kamu semua tidak memiliki seorang penolong dan pemberi syafaat pun selain diri-Nya. Lalu, apakah kamu tidak memperhatikannya?“. Allah menciptakan langit, bumi, beserta isinya yang menunjukkan kekuasaan-nya yang agung. Proses penciptaan dalam enam masa menggambarkan runtutan dalam ciptaan Allah. Hal ini menjadi pengingat kepada setiap manusia bahwa tidak ada penolong dan pemberi syafaat di luar kekuasaan Allah swt. Selain itu meningkatkan keimanan dan kesadaran manusia akan kebesaran Allah terhadap penciptaan Alam semesta.

Islam memberi amanat kepada manusia agar tidak merusak alam dan lingkungan. Namun kegiatan eksploitasi dilakukan oleh orang-orang pada saat ini yang seharusnya dilakukan pembaharuan untuk generasi mendatang. Eksploitasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Konservasi sumber daya alam dapat dimaknai sebagi penggunaan sumber daya alam dengan cara tidak merusak yang menjamin keberlanjutan sumber daya. Larangan untuk merusak alam menjadikan manusia harus menjaga dan merawat bumi yang telah diciptakan Allah.[1] Pentingnya sikap tawadhu dan menyadari bahwa Allah telah berkuasa atas segalanya yang disertai kesadaran akan kemungkinan tidak diterimanya doa kita. Sebagaimana difirmankan Allah dalam (Q.S al A’raf [7]: 56) yang artinya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Upaya yang dapat dilakukan sebagai khalifah di muka bumi ini yaitu manusia diberi tanggung jawab terhadap pengelolaan alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan untuk menjaga keadilan, kebaikan, serta kesejahteraan umat serta lingkungan.[2] Dalam bidang pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan teknik pertanian organik dan agroforestri untuk menjaga kesuburan tanah. Pengelolaan alam berkelanjutan perlu dilakukan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Hal ini juga memastikan anak turun kita akan memiliki akses terhadap sumber daya alam yang sama seperti yang kita miliki saat ini.

Rassulullah SAW memberikan dorongan untuk menanam pohon dan menjaga vegetasi. Dalam Hadis Al Bukhari disebutkan bahwa Dari Anas bin Malik ra (ia berkata): Rasulullah Saw bersabda: Tak seorang pun muslim yang menanam pohon atau menabur benih tanaman, lalu (setelah ia tumbuh) dimakan oleh burung, manusia, atau hewan lainnya, kecuali akan menjadi sedekah baginya [HR. Bukhari]. Anjuran menanam pohon dan tumbuhan menjadi hal penting karena tidak mengandung maslahat yang sifatnya duniawi namun juga ukhrawi.[3]  Bersifat duniawi karena pohon memberikan sumber pangan bagi manusia dan hewan, serta ukhrawi karena menanam pohon dianggap sebagai amal jariyah yang pahalanya terus mengalir bahkan setelah seseorang meninggal. Semakin banyak pohon maka jumlah pasokan oksigen meningkat dan tingkat polusi udara akan menurun. Selain itu, akar pohon dapat menjaga ketersediaan air dalam tanah serta akar pohon yang kuat dapat menahan terjangan banjir.

Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan alam. Keseimbangan alam ini mencakup pengelolaan sumber daya alam dengan cara tidak merusak alam dan memastikan bahwa semua makhluk hidup dapat harmonis.[4] Semua makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan, saling bergantung satu sama lain dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Hal ini tercantum dalam (Q.S. ar-Rahman [55]: 7-8) Allah berfirman: “Dan langit Dia tinggikan dan Dia tetapkan neraca agar kamu tidak melampaui batas dalam neraca itu”. Neraca dalam hadist tersebut dimaknai sebagai pentingnya menjaga keadilan dalam setiap aspek kehidupan. Aturan Allah mengenai ketetapannya harus diikuti baik dalam hubungan sesama manusia dan pengelolaan alam.

Prinsip-prinsip konservasi alam selain yang telah dijelaksakan, dalam kehidupan sehari-hari umat Islam dianjurkan untuk menerapkan tindakan-tindakan sederhana seperti:

  1. Reduce, Reuse, Recycle barang-barang dan bahan-bahan.
  2. Menghindari polusi dengan cara mengurangi sampah dan menggunakan produk yang ramah lingkungan.
  3. Berpartisipasi dalam program-program pelestarian lingkungan dan mendukung inisiatif yang bertujuan untuk melindungi alam.
  4. Menghemat energi dan air dalam kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, aspek manfaah dan mafsadah penting diterapkan dalam penggunaan alam, untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan.[5] Manfaah yang memiliki makna setiap tindakan yang dilakukan terhadap alam harus memberikan manfaat bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Sedangkan mafsadah yaitu setiap tindakan yang dilakukan pada alam harus mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. Komitmen untuk menjaga dan melestarikan alam kita tidak hanya memenuhi tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi ini, namun juga merupakan bentuk syukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.

Penulis: Ulfida Aisya Laishela. Staf Akademik Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII

Sumber:

*Staf Akademik Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII

[1] Muhammad Syariful Anam, dkk. “Konservasi Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal Al-Madaris, Vol 2 No. 01, Tahun 2021. h.34.

[2] Muslim. “Akhlak Islam Dalam Pengelolaan Lingkungan” dalam Jurnal Hukum Islam, Vol. 17 No. 01, Tahun 2007 h.102.

[3] Ilham. “Mari Menambah Pahala dengan Merawat dan Menanam Pohon” https://muhammadiyah.or.id/2021/08/mari-menambah-pahala-dengan-merawat-dan-menanam-pohon/. Diakses pada 27 Agustus 2024.

[4] Agus Fahmi dan Sukendah. “Konservasi Alam dalam Perspektif Etika Keilmuan Islam dalam Perubahan Iklim” dalam Jurnal Ilmu Pertanian dan Perkebunan, Vol. 05 No. 01, Tahun 2023. h.23.

[5] Abd. Aziz. “Konservasi Alam Dalam Perspektif Etika Islam; Tantangan Dan Tuntutan Globalisasi”. dalam Jurnal Akademika, Vol. 19 No. 02, Tahun 2014. h.320.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Kita saat ini menyaksikan fenomena di negeri kita, khususnya di lembaga perwakilan rakyat, DPR. Lembaga yang seharusnya menjadi lidah dan telinga rakyat, sering kali justru menjadi sorotan karena keputusan-keputusan yang tidak pro rakyat, bahkan karena praktik korupsi dan penyalahgunaan amanah.

Fenomena DPR Sekarang

  • Banyak masyarakat merasa DPR kurang mewakili suara rakyat, bahkan lebih mementingkan kepentingan kelompok atau partai.
  • Sering muncul isu korupsi, penyalahgunaan wewenang, bahkan keputusan yang tidak pro-rakyat.
  • Ada pula fenomena politik uang, janji yang tidak ditepati, serta minimnya teladan moral.

Dalam Islam, jabatan adalah amanah. Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil” (QS. An-Nisa: 58). Artinya setiap anggota DPR sesungguhnya sedang mengemban amanah, bukan sekadar mengisi kursi.

Rasulullah ﷺ menegaskan, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” Maka tugas seorang wakil rakyat bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani rakyat. Jika amanah itu disalahgunakan, maka kelak di hadapan Allah akan ditanya satu per satu.

Maka kita sebagai rakyat jangan hanya mengeluh, tetapi juga ikut berperan: memilih pemimpin yang jujur, berani mengingatkan yang salah, dan jangan ikut-ikutan dalam politik uang atau mendukung kebijakan zalim.

Pandangan Islam

  1. Amanah & Kepemimpinan
    • Allah berfirman:
      “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…”
      (QS. An-Nisa: 58)
    • Jadi, kedudukan sebagai wakil rakyat adalah amanah, bukan sekadar jabatan atau fasilitas.
  2. Pemimpin adalah Pelayan, Bukan yang Dilayani
    • Rasulullah ﷺ bersabda:
      “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Dawud)
    • Artinya DPR seharusnya melayani rakyat, bukan mengkhianati rakyat dengan kepentingan pribadi.
  3. Korupsi & Pengkhianatan
    • Rasulullah ﷺ bersabda:
      “Barangsiapa yang kami angkat menjadi pegawai untuk suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan satu jarum atau lebih, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan).” (HR. Muslim)
    • Korupsi, gratifikasi, dan penyalahgunaan fasilitas negara adalah bentuk ghulul yang diancam neraka.
  4. Hari Akhir: Pertanggungjawaban
    • Setiap pemimpin akan ditanya: “Bagaimana engkau memimpin rakyatmu?”
    • Rasulullah ﷺ bersabda:
      “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga para pemimpin kita diberi hidayah untuk adil, amanah, dan takut kepada Allah, karena sesungguhnya di akhirat tidak ada lagi jabatan, kecuali pertanggungjawaban.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Penulis:  Eddy Wahyono, Staf Assessment Divisi Administrasi Akademik FBE UII

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jamaah yang dimuliakan Allah,
Hari ini saya ingin mengingatkan tentang zakat dan pajak. Banyak orang bertanya: apakah keduanya sama?

Apakah Pajak dan Zakat Sama?

Tidak sama.

  • Zakat → kewajiban agama (rukun Islam), kadar dan penerimanya sudah ditentukan syariat.
  • Pajak → kewajiban kenegaraan, besarannya ditentukan pemerintah, untuk kepentingan umum.

Jadi, bayar pajak tidak menggugurkan zakat, tapi seorang Muslim wajib taat keduanya: zakat sebagai ibadah kepada Allah, pajak sebagai ketaatan kepada ulil amri.

Saudara sekalian, zakat adalah kewajiban dari Allah, bagian dari rukun Islam. Allah berfirman:
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. An-Nur: 56).
Zakat adalah kewajiban agama, salah satu rukun Islam. Kadarnya telah ditentukan, seperti 2,5% dari emas, perak, dan harta simpanan, 5–10% hasil pertanian, dan diberikan hanya kepada delapan golongan sebagaimana dalam QS. At-Taubah ayat 60. Zakat membersihkan harta, menyucikan jiwa, serta menjadi bentuk kepedulian kepada fakir miskin.

Adapun pajak adalah kewajiban dari negara. Besarannya ditentukan pemerintah, untuk kepentingan umum: membangun jalan, sekolah, rumah sakit, pertahanan, dan berbagai kebutuhan rakyat.

Allah berfirman

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)

Dengan ayat ini, kita paham bahwa pajak merupakan bentuk ketaatan kepada ulil amri, selama tidak bertentangan dengan syariat.

Pajak dipakai untuk membangun jalan, sekolah, kesehatan, pertahanan, dan lain-lain. Besarannya ditentukan pemerintah, bisa berubah sesuai kebutuhan.

Jadi, pajak dan zakat tidak sama. Membayar pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat. Seorang Muslim tetap wajib zakat agar ibadahnya sah, sekaligus membayar pajak sebagai bentuk ketaatan kepada pemimpin selama tidak bertentangan dengan syariat.

Mari kita tunaikan keduanya dengan niat ikhlas. Zakat untuk meraih ridha Allah, pajak untuk menjaga keberlangsungan negeri. Dengan begitu, insyaAllah harta kita bersih, negara kita kuat, dan hidup kita penuh berkah.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Penulis: Eddy Wahyono, Staf Assessment Divisi Administrasi Akademik FBE UII