Purwoko Raih Gelar Doktor di UII Usai Teliti Penolakan Petani Untuk Menggunakan Pupuk Organik
Salah satu kebijakan dalam pembangunan pertanian yang pernah diluncurkan pemerintah Indonesia adalah pengembangan pertanian organik melalui komitmen “Go Organik 2010”. Dalam komitmen ini dicanangkan bahwa pada tahun 2010 Indonesia akan menjadi produsen produk pertanian organik terbesar di dunia. Namun hingga saat ini target tersebut ternyata belum tercapai.
Penyebab tidak tercapainya komitmen pemerintah tersebut di antaranya adalah masih dilegalkannya peredaran pupuk kimia bahkan Indonesia masih sangat tergantung dengan pupuk kimia anorganik, sosialisasi terkait produk pertanian organik masih kurang sehingga konsumen tidak banyak memahami pentingnya mengkonsumsi produk pertanian organik. Selain itu, tidak terwujudnya komitmen pemerintah tersebut dikarenakan banyak petani yang menolak untuk memakai pupuk organik yang sebenarnya telah disubsidi oleh pemerintah.
Hal inilah yang mendorong Dr. Purwoko, SE.,MM., untuk meneliti penyebab munculnya sikap penolakan petani terhadap penggunaan pupuk organik dan menghantarkannya meraih gelar Doktor di Universitas Islam Indonesia. Dalam desertasinya yang dipresentasikan pada Ujian Terbuka Sidang Promosi Doktor di Fakultas Ekonomi UII, Selasa (1/9), Purwoko menyampaikan bahwa ia telah meneliti sekitar 200 petani di kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. “Setelah diteliti, ditemukan bahwa mayoritas perilaku penolakan petani tersebut lebih banyak disebabkan karena hasil panen pertama setelah menggunakan pupuk organik ternyata lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya saat para petani masih menggunakan pupuk kimia anorganik.” Papar Purwoko.
“Selain itu juga banyak yang tidak mau menggunakan pupuk organik karena dipengaruhi oleh petani lain yang pernah mencoba pakai pupuk organik dan mengalami kegagalan peningkatan hasil. Setelah banyak mendengar cerita kegagalan dari petani-petani tersebut akhirnya banyak petani yang terpengaruh sehingga para petani lebih memilih cara lama menggunakan pupuk anorganik tanpa memperhatikan dampaknya terhadap pencemaran tanah di masa yang akan datang.” Lanjut Purwoko.
Terkait rendahnya hasil panen para petani setelah menggunakan pupuk organik, Purwoko menjelaskan, “Untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hasil panen saat menggunakan pupuk kimia anorganik diperlukan setidaknya lima kali masa panen menggunakan pupuk organik, hal tersebut dikarenakan kualitas tanah baru dapat kembali setelah minimal lima kali masa panen.” Papar Purwoko.
Oleh karena itu, Purwoko berharap hasil penelitiannya tersebut dapat mendorong pemerintah untuk lebih serius mewujudkan komitmen menjadikan Indonesia sebagai produsen produk organik. “Demplot sebaiknya dilakukan minimal sampai lima kali masa panen, tidak hanya sekalik seperti yang selama ini dilakukan sehingga hasilnya belum maksimal.” Tegas Purwoko.
Di samping itu, ketika petani menggunakan pupuk organik namun hasil panennya lebih rendah dari tahun sebelumnya maka pemerintah harus berani mengganti kekurangan hasil panen petani. “Jika pemerintah serius ingin menjalankan program ini maka harus berani mengganti kekurangan hasil panen petani, misalkan tahun ini 8 ton setelah menggunakan pupuk organik hasil panen pertama kurang dari 8 ton maka pemerintah mengganti 2 ton kekurangannya.” Lanjut Purwoko.
“Anggaran kita yang besar itu saya rasa cukup jika difokuskan untuk hal tersebut. Pemerintah juga perlu mmbantu pemasarannya produk organik petani dan menghargai hasil panen dengan harga yang layak. Dengan demikian para petani akan tertarik untuk menggunakan pupuk organik dengan sendirinya” Jelas Purwoko.
sumber: www.uii.ac.id
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!