Cak Nun, Sosok Inspiratif yang Merakyat
Pada kamis malam (5/07), Manifest menggelar acara dengan mengundang Cak Nun sebagai pengisinya. Manifest merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen atau yang biasa dikenal dengan Management Community ( MC) FE UII. Manifest terdiri dari beberapa rangkaian acara yakni sosial, sport, entertainment, dan edukasi. Acara yang dikemas dalam tajuk “Sinau Bareng Cak Nun Dan Kiai Kanjeng” merupakan salah satu rangkaian acara dalam bidang edukasi. Pengajian tersebut digelar di Balai Padukuhan Dero, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta telah mendapat respon yang sangat positif dari masyarakat.
Salah satu pendakwah terkenal di Indonesia adalah Emha Ainun Nadjib atau yang biasa dikenal dengan Cak Nun, beliau merupakan seorang tokoh intelektual muslim dan budayawan asal Jombang, Jawa Timur. Acara pengajian ini dihadiri pula oleh Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag selaku Wakil Rektor UII bidang kemahasiswaan, keagamaan dan alumni serta Faaza Fakhrunnas, SE., M.Sc selaku perwakilan dari Dekan Fakultas Ekonomi UII.
Luasnya padukuhan Dero nyatanya tidak mampu membendung antusias dari para jamaah yang hadir. Jemaah terlihat memenuhi lokasi bahkan hingga memenuhi jalanan yang aksesnya sengaja ditutup oleh panitia, karena sebelumnya telah memprediksi besarnya animo masyarakat yang datang. Sudah menjadi rahasia umum ketika Cak Nun menjadi pengisi pengajian maka banyak sekali jemaah yang akan mengikuti kajiannya. Andre selaku Liaison Officer Cak Nun menyampaikan “Lebih dari 2.500 jemaah datang untuk menghadiri acara ini”.
Manifest sendiri mengusung tema “Inclusive Society” yang merupakan sebuah lingkup sosial yang terdiri dari masyarakat dengan perbedaan ras, suku bangsa, kepercayaan, sudut pandang, status sosial dan ekonomi dimana mereka merasa diterima, tanpa memperdulikan perbedaan yang dimiliki. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan rasa menghargai perbedaan antar sesama serta membentuk dan mendorong terbentuknya suatu masyarakat inklusif. Tujuan meningkatkan rasa menghargai perbedaan antar sesama sangat tercerminkan pada malam itu, pasalnya Cak Nun mengajak salah satu temannya untuk menjadi personil pada malam itu. Seorang wanita yang berasal dari Amerika biasa disapa “Bu Ann” yang saat ini tengah mempelajari musikologi etnik di Indonesia. Bu Ann pandai berbahasa Indonesia, bahkan ia dapat melantunkan Sholawat.
Cak Nun selalu memiliki bahasan yang menarik, menyisipkan guyonan, serta menggunakan bahasa yang terkesan santai yaitu campuran Bahasa Indonesia dan Jawa. Ia sangat pintar dalam membawa suasana, serta berdakwah dengan sederhana. Menerapkan bentuk duduk lesehan dengan tikar menciptakan kedekatan antar jemaah yang melebur bersama tanpa adanya perbedaan status, ras, bahkan agama.
Para petinggi universitas pun turut duduk bersama di tikar tersebut. Beliau meminta 3 kelompok berisi 5 orang untuk berdiskusi mengenai sistem hukum yang hidup berdampingan dengan kita. Mayoritas berpendapat sama, yaitu keluarga, masyarakat, negara, agama dan alam. Dan menurut mereka yang paling mengikat adalah hukum agama, namun sebagian menjawab adat adalah yang paling mengikat. Beliau juga memberikan pertanyaan mengenai apa sumber utama kepantasan dalam hidup. Akhlak atau moral, cinta, filosofi, nurani, ruh dan lain-lain berada di level diatas hukum, namun tidak ada jawaban yang benar. Menurut Cak Nun semua dikatakan ‘dinamis’, semua berdampingan.
Cak Nun menyampaikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melekat pada dua hukum yaitu hukum negara dan agama, akan tetapi hukum yang lebih terikat dengan kita adalah hukum negara. Kepandaian Cak Nun dalam menyampaikan kajian melalui kata demi kata serta diselingi sholawat menggema bersama jemaah, membuat acara yang di mulai dari lepas isya hingga tengah malam menjadi terasa singkat. Rangkaian acara tersebut ditutup dengan bersalaman antara Cak Nun dan jamaah. (LN/DMR)