Pemasaran Syariah: Apa yang berbeda dengan model konvensional?
Oleh: Hendy Mustiko Aji, Dosen Pemasaran Syariah, Jurusan Manajemen, FBE UII
Pemasaran syariah telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dipengaruhi oleh tumbuhnya industri halal di berbagai negara di dunia, tidak hanya negara dengan populasi mayoritas Muslim, tetapi juga di negara-negara dengan populasi Muslim minoritas. Tumbuhnya industri pariwisata yang menggunakan syariah seperti industri kuliner, farmasi, kosmetik, perbankan, dan logistik menjadi salah satu alasan kuat berkembangnya adaptasi hukum Islam (syariah) di dalam dunia bisnis.
Topik tentang pemasaran syariah sangat relevan jika diawali dengan pertanyaan mendasar, yakni “apa yang salah dari pemasaran konvensional?”. Pertanyaan tersebut menjadi titik awal yang membangun paradigma di dunia bisnis, khususnya bisnis yang berbasis syariah, guna memahami mengapa bisnis membutuhkan pemasaran syariah.
Kritik terhadap pemasaran konvensional
Konsep pemasaran konvensional secara singkat bersifat market-driven (didorong oleh keinginan pasar) yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dengan cara menciptakan value bagi mereka. Konsekuensi dari pemasaran konvensional adalah untuk mendorong volume penjualan sebanyak-banyaknya dan pada akhirnya guna memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya. Jika orientasi bisnis hanya sebatas volume penjualan atau pada keuntungan semata, menurut penulis, maka konsep pemasaran konvensional tak memiliki masalah.
Namun demikian, jika ditelisik lebih dalam, konsep pemasaran konvensional yang didorong oleh keinginan pasar ini memiliki dampak negatif terhadap etika dan moral di pasar. Landasan aksiologi dalam konsep pemasaran konvensional yang terlalu relatif, membuatnya tak memiliki standar moralitas yang dijadikan sebagai rujukan utama. Dalam bahasa lain, sistem etika dalam konsep pemasaran konvensional bersifat bebas nilai (value-free) atau sekuler. Akibatnya, standar bahwa sesuatu dianggap benar atau salah, atau standar bahwa sesuatu dianggap baik atau buruk, ditentukan secara relatif berdasarkan bagaimana konsumen memersepsikannya. Relativitas dalam standar moral itulah yang kemudian menjadi sumber permasalahan etika dan moral yang terjadi pada praktik pemasaran konvensional secara global.
Dampak negatif: rusaknya moralitas pasar
Tidak adanya standar baku dalam hal moralitas pada konsep pemasaran konvensional menciptakan banyak dampak negatif terhadap perilaku pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam pasar. Berikut adalah contoh pelanggaran moral dalam pemasaran konvensional yang terjadi di sekitar kita, di antaranya: menjamurnya kredit daring (online) di Indonesia yang banyak memakan korban dari masyarakat menengah ke bawah; jumlah manusia yang meninggal akibat rokok (baik secara aktif maupun pasif); banyaknya masyarakat yang terpapar dampak negatif narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA); kecenderungan “saling membunuh” dalam kompetisi bisnis; iklan yang menipu masyarakat; dan munculnya dugaan praktik kartel harga atau oligopoli yang dilakukan maskapai di Indonesia.
Semua masalah di atas terjadi karena semua pihak bebas menafsirkan standar moralitas sesuai kehendak mereka. Dalam konteks kasus dugaan kartel harga tiket pesawat misalnya, konsumen banyak yang merasa dizalimi, namun maskapai bisa saja membela diri dengan menggunakan prinsip penawaran dan permintaan guna menjadi alasan, di mana banyaknya permintaan tiket pesawat dengan pasokan yang terbatas, mengakibatkan harga melambung tinggi. Padahal mestinya harga yang ditetapkan tidak “murni” mengikuti prinsip penawaran dan permintaan, melainkan diduga diatur atau diintervensi oleh kekuatan kartel.
Contoh lain dari dampak negatif pemasaran konvensional adalah banyaknya masyarakat yang menjadi korban dari asap rokok, namun perusahaan rokok tidak akan mau disalahkan begitu saja sebagai penyebab suatu penyakit yang diderita masyarakat, yang tidak sedikit di antara mereka berujung dengan kematian. Mereka akan berdalih bahwa banyak karyawan yang akan menjadi pengangguran jika pabrik rokok ditutup. Selanjutnya, laporan keluhan konsumen terhadap perusahaan kredit online menunjukkan tren yang tinggi pada kuartal akhir tahun 2018 lalu, namun perusahaan kredit online juga akan membela diri dengan melempar semua kesalahan kepada konsumen karena telat membayar atau karena kredit macet. Semua contoh di atas menunjukkan bahwa semua pihak bebas menafsirkan standar baik dan buruk, sehingga mengakibatkan kerusakan pada moralitas pasar. Rusaknya moralitas pasar di suatu negeri akan menjadi penyebab murka dan azab dari Allah, sebagaimana firman Allah berikut:
“Dan tidaklah Kami akan menghancurkan negeri-negeri itu kecuali karena para penduduknya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Qashash: 59).
Keadilan dalam syariah
Secara umum konsep pemasaran syariah secara epistemologi bersifat sharia-driven (digerakkan oleh syariah sebagai sumber hukum) yang berorientasi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen serta menciptakan value bagi mereka selama tidak bertentangan dengan sumber utama di dalam Islam, yakni Alquran dan Hadis. Konsep aksiologi dalam pemasaran syariah pun jelas, di mana standar moralitas (benar atau salah dan baik atau buruk) yang digunakan, semuanya bersumber dari Alquran dan Hadis, baik yang bersifat qouli (ucapan), fi’li (perbuatan), maupun taqriri (persetujuan atas perbuatan para sahabat Rasul). Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam berikut:
“Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa: 59).
Kejelasan sumber etika dan moralitas pemasaran syariah (Alquran dan Hadis) inilah yang membedakan konsep pemasaran konvensional dengan pemasaran syariah. Kejelasan sumber moralitas dan rangkaian masalah-masalah yang dijelaskan di atas, merupakan alasan ontologis mengapa pemasaran yang berbasis syariah sangat dibutuhkan?. Tujuannya satu, yakni untuk menciptakan keadilan yang sebenar-benarnya bagi seluruh stakeholders di pasar. Tujuan ini juga sejalan dengan konsep maqashid (tujuan) syariah, yakni untuk menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Dalam menjaga kelima hal tersebut, pemasaran syariah memiliki tujuan untuk menjaga moralitas pasar sehingga terciptalah keadilan di dalam pasar bagi seluruh stakeholders. Konsep keadilan dalam pemasaran syariah diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan yang disebutkan sebelumnya. Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat global perlu mengkaji dan mengimplementasikan pemasaran syariah di dunia bisnis.
Editor: Baziedy A. Darmawan