Hendy Mustiko Aji, Dosen Manajemen Pemasaran, Prodi Manajemen, FBE UII

Kemajuan teknologi di era sekarang ini dapat memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk menjalankan berbagai macam aktivitas, salah satunya aktivitas berbelanja. Latte Factor yang sering kali dianggap sebagai penyebab kewaspadaan generasi Z dalam merancang anggaran pengeluarannya, membuat generasi tersebut harus lebih peka dengan latte factor ini, terlebih dengan adanya fasilitas dompet digital yang tersedia. 

Siapa itu generasi Z ?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai generasi z, kita harus mengerti dan mengenal apa yang dimaksud dengan generasi z sendiri. Generasi z adalah manusia yang lahir dari tahun 1995 – 2010. Dimana kategorisasi generasi berdasarkan kesamaan cohort atau perilaku, termasuk perilaku spending atau pengeluaran.

Apa itu Latte Factor?

Selanjutnya pembahasan mengenai latte factor yaitu suatu pengeluaran kecil yang memiliki sifat konsisten dan dilakukan dengan kebiasaan. Hal tersebut sangat tidak baik karena akan menyebabkan dampak buruk ketika hal kecil yang selalu dilakukan dan menjadi kebiasaan dalam jangka waktu yang lama akan menumpuk. “Istilah latte factor diperkenalkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh David Bach & John Mann berpendapat bahwa jika setiap orang tersebut terbiasa mengeluarkan uang dengan jumlah yang kecil dan konsisten setiap hari maka akan membengkak di akhir,” jelas Hendy Mustiko Aji sebagai pembicara Ruang Gagasan kali ini.  “Contoh dari latte factor yang disebutkan oleh David Bach & John Mann adalah kopi. Latte factor juga dapat berupa hal apapun yang berbentuk dengan biaya yang dapat dikatakan kecil, contohnya seperti membayar admin bank,” imbuhnya.

Dompet Digital, Latte Factor dan Gen Z

Dompet digital merupakan suatu aplikasi elektronik yang dapat dipergunakan dalam pembayaran transaksi secara online. Di Indonesia sendiri dompet digital sudah menjadi alat pembayaran umum di masyarakat luas. Contoh dari Dompet digital ini seperti OVO, Shopee Pay, Dana, dan sebagainya. 

Dompet Digital Dapat Men-Trigger Pengeluaran Kecil (Latte Factor). 

“Berdasarkan Mobile Wallets Report 2021, e-wallets di Indonesia dikuasai OVO (38.2%), ShopeePay (15.6%), LinkAja (13.9%), Go-Pay (13.2%), DANA (12.2%). Total pengguna dompet digital ini sebanyak sebanyak 60 juta pengguna dalam satu tahun, dengan total transaksi per tahun kurang lebih USD 28 miliar dengan 1.7 miliar kali transaksi,” jelas Hendy Mustiko Aji.  Hal ini terlihat sangat berdampak, sehingga terdapat kaitan antara dompet digital dan pengeluaran.

Dompet Digital Membuat Gen Z Tidak Merasakan Pain of Paying

Kemudahan dalam bertransaksi dengan adanya dompet digital ini membuat Gen Z tidak merasakan Pain of Paying. Pada suatu literatur penelitian menyebutkan bahwa, apabila seseorang menggunakan alat pembayaran dengan sifat tidak berbentuk fisik, maka seseorang itu tidak akan merasakan pain of paying atau penderitaan dalam membayar.

Dompet Digital Membuat Gen Z Terjebak Ilusi Likuiditas

Ketidakdapatan wujud fisik dari alat pembayaran ini membuat Gen Z merasakan adanya konsep ilusi likuiditas. Ilusi likuiditas ini menimbulkan perasaan apabila seseorang memiliki uang yang likuid atau banyak, dimana operasi pembayaran muncul secara sederhana.

Solusi Agar Tidak Terjebak Dalam Latte Factor

Beberapa poin yang dapat dilakukan Gen Z tidak terjebak dalam pemborosan, yang pertama adalah Self-Control dimana seseorang dapat hidup secara sederhana dan merasa cukup. Yang kedua seseorang bisa membuat anggaran ketat, apabila anggaran tersebut bersifat fleksibel akan membuat pengeluaran kecil-kecil bisa menjadi meluap. Yang ketiga, jangan simpan banyak uang di dompet digital karena akan cenderung tidak merasakan pain of paying hingga ilusi likuiditas. (DLS/ZM)

Istilah Generasi Z sudah tidak begitu asing lagi untuk didengar di era digital. Generasi Z ini mencakup golongan orang-orang yang lahir antara tahun 1995 hingga tahun 2010. Generasi Z juga disebut dengan mobile generation dimana dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, generasi ini cenderung lebih banyak bergantung pada perangkat smartphone. Aktivitas tersebut juga berpengaruh terhadap bagaimana bisnis berkembang akhir-akhir ini.

“Di akhir 2020 muncul istilah industri 5.0 dimana industri 5.0 akan fokus terhadap kustomisasi dan cyber physical,” ujar Bagus Panuntun, Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia dalam penjelasannya yang membandingkan fokus bisnis yang berjalan saat ini dengan era 4.0 yang cenderung fokus pada cyber, (23/10). Hal ini penting untuk dipikirkan kembali bagi para pebisnis khususnya generasi muda sebagai salah satu dasar dalam membangun bisnis yang sesuai dengan kebutuhan pasar di era industri saat ini.

“Menurut data Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) OPUS, kontribusi Industri kreatif khususnya didorong oleh generasi muda yang usianya 20 hingga 25 tahun menghasilkan revenue atau PDB sekitar Rp1.105 triliun dan saat ini kontribusinya masih cukup kecil di angka 7,4%,” jelas Bagus. Pendapatan dari sektor industri kreatif ini juga berkontribusi besar terhadap pendapatan Indonesia dimana saat ini berada di posisi ketiga terbesar dalam menyumbang pendapatan negara. Dalam kurun waktu beberapa tahun kedepan, kontribusi industri kreatif ini akan terus  berkembang dan banyak diwarnai oleh Generasi Z .

Sebagai mahasiswa ada beberapa hal yang perlu dicermati untuk membangun bisnis kreatif di era 5.0. Sebagai persiapan membangun bisnis di masa depan, mahasiswa dapat memanfaatkan program yang ditawarkan kurikulum sebagai langkah meng-upgrade diri seperti program Kampus Merdeka. Tips yang kedua adalah skema pembelajaran Capstone Entrepreneurship yang merupakan tugas akhir rancang bangun bisnis pengganti skripsi. Tips ketiga adalah memanfaatkan ko-kurikulum yang artinya program pembangunan kewirausahaan seperti incubator, bisnis, teknologi, dan akselerator bisnis. Tips keempat adalah memanfaatkan ekosistem kewirausahaan yang ada di kampus. 

Untuk mengakhiri, Bagus menambahkan, “Hal yang pasti dirasakan oleh seseorang yang membangun bisnis tidak terlepas dari naik turunnya perjalanan bisnis tersebut. Mengikuti beberapa tahapan yang terjadi dan meningkatkan skills merupakan upaya yang dapat dilakukan agar bisnis berjalan dengan sukses”. Mengingat adanya teknologi digital, mau tidak mau semua orang merasakan dampaknya dan harus ikut serta menggunakannya agar mengerti bagaimana kehidupan dunia khususnya dalam bisnis. (AR/PIO)

Sabtu (11/7), Faaza Fakhrunnas, selaku dosen Universitas Islam Indonesia, berbicara mengenai UMKM di Indonesia pada saat masa pandemi. Dalam sambutannya, beliau menuturkan bahwa UMKM yang ada di Indonesia tidak bisa dipukul sama rata karena UMKM memiliki klasifikasinya masing-masing.

Berdasarkan survei BPS pada tahun 2017, UMKM berkontribusi pada 60,34% dari PDB Indonesia, ini menandakan bahwa UMKM berpengaruh besar dalam perekonomian Indonesia dan menjadi sektor yang harus diprioritaskan oleh pemerintahan Indonesia.

“Besarnya UMKM, banyaknya masyarakat dan tenaga kerja, sekaligus pengaruh dan jumlahnya, tentu harus menjadi perhatian pemerintah apalagi pada masa pademi seperti ini”, ujar Faaza Fakhrunnas. 

Pada masa awal Covid-19, Indonesia sudah mulai diuji dari berbagai macam sektor, salah satunya yaitu sektor ekonomi. Covid-19 menerjang perekonomian Indonesia sangat drastis. Banyak sektor perekonomian yang terganggu dan tidak bisa berjalan karena saling bergantung dengan lainnya. Faaza menambahkan, “Tak bisa dipungkiri bahwa penurunan angka pertumbuhan perekonomian Indonesia pada Kuartal I ke Kuartal II Covid-19 lebih buruk daripada krisis tahun 1997”.

Fokus pemerintah melakukan recovery economy dinilai cukup bagus. Upaya tersebut menolong jatuhnya perekonomian Indonesia agar kembali tumbuh. Pemerintah mengalokasikan dana pemberdayaan UMKM pada tahun 2020 sebesar 123,46 triliun dari total anggaran bantuan sosial yang mencapai 695 triliun. Tujuan utamanya restrukturisasi kredit UMKM untuk memberikan kemudahan akses kredit dan penalangan bunga bagi para UMKM. 

Tahun 2021, upaya recovery economy dilanjutkan dengan Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Pemerintah menggelontorkan dana bantuan sosial yang lebih besar menjadi 699,4 triliun. Alokasi dana bantuan kepada UMKM di tahun 2021 meningkat sebesar 191,13 triliun. Penambahan tersebut tak lepas dari kontribusi besar UMKM bagi perekonomian. Sayangnya, penyerapan dana pada UMKM masih tergolong rendah di angka 26,3% atau setara dengan 50,23 triliun terhitung pada Juni 2021.

Faaza mengusulkan beberapa hal yang harus pemerintah lakukan untuk memaksimalkan penyerapan dana UMKM terutama saat PPKM Darurat. Pemerintah perlu melibatkan UMKM dalam program bantuan sosial, seperti pengadaan barang bantuan. Kemudian memberikan dukungan digitalisasi UMKM dengan pemberian insentif, memperbaiki akurasi data penerimaan dana bantuan yang tepat sasaran, memiliki konsistensi dalam melaksanakan kebijakan, gerakan moral dengan pemotongan gaji di kalangan aparatur pemerintahan sebagai bentuk gerakan sosial yang dialami semua kalangan, perlunya revolusi birokrasi, lalu yang terpenting adalah pemerintah harus fokus pada kebijakan kesehatan. “Pada hakekatnya kebijakan kesehatan itu sendiri adalah kebijakan ekonomi” tegas Faaza. (MA/AR)

Oleh : Muamar Nur Kholid, Dosen Jurusan Akuntansi, FBE UII

Pembuatan keputusan bisnis baik dalam konteks perusahaan besar maupun pada kelas Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) harus dibuat dengan cermat. Terlebih dalam kondisi ketidakpastian saat ini, dimana seluruh aktivitas bisnis cenderung lesu akibat adanya COVID-19. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa 8 dari 10 Usaha Mikro Kecil (UMK) mengalami penurunan permintaan, dan 62.21% UMK menghadapi kendala keuangan terkait pegawai dan operasional. Pelaku UMKM yang secara gamblang mengalami dampak COVID-19 perlu membuat keputusan-keputusan yang tepat, dan tentu harus berbasis pada data dan informasi keuangan dan non-keuangan yang akurat. Sayangnya, belum banyak pelaku UMKM yang memiliki kesadaran penuh untuk mengumpulkan, menyusun, dan menyerap informasi keuangan dengan cermat mengenai operasional usahanya. Hal tersebut ditunjukkan dengan masih banyaknya pelaku UMKM yang abai atas pencatatan transaksi-transaksi yang terjadi dalam usahanya.

Jika memang hanya untuk kepentingan internal usahanya, memang pencatatan transaksi-transaksi yang terjadi dapat dicatat dengan “sesuka hati” oleh pelaku UMKM. Pelaku UMKM dapat mencatat transaksi sesuai dengan kebutuhan mereka dan kalaupun mungkin hanya bisa dibaca oleh pelaku UMKM itu sendiripun tidak akan menjadi soal. Hanya saja untuk beberapa hal, pelaku UMKM perlu untuk berbagi informasi keuangan usahanya kepada pihak eksternal dalam bentuk Laporan Keuangan, misalnya untuk keperluan akses permodalan di Bank atau calon investor maupun bantuan pemerintah, keperluan pajak dan lain sebagainya. Untuk kebutuhan tersebut, maka pelaku UMKM perlu untuk dapat menghasilkan informasi dalam bentuk laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Entitas Mikro Kecil dan Menengah (EMKM). Harapannya dengan mengikuti SAK EMKM yang berlaku, maka pelaku UMKM dapat menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas yang mudah dipahami oleh pembaca dan dapat dibandingkan dengan entitas lain yang sejenis.

Memang menurut SAK EMKM, pelaku UMKM hanya diwajibkan membuat Laporan Laba Rugi, Laporan Posisi Keuangan (Neraca) dan Catatan atas Laporan Keuangan yang berisi tambahan dan rincian pos-pos tertentu yang relevan. Namun, tanpa adanya pengetahuan akuntansi yang cukup dan sumberdaya keuangan yang tersedia untuk melibatkan akuntan dalam penyusunan laporan keuangan, maka pelaku UMKM juga tidak mudah untuk dapat menyajikan beberapa laporan keuangan tersebut dengan kualitas yang cukup. Menyadari hal tersebut, berbagai pihak berinisiatif untuk mengembangkan aplikasi berbasis telepon pintar yang membantu pelaku UMKM mencatat berbagai transaksi bisnis dan menghasilkan laporan keuangan dengan mudah dan berkualitas sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang relevan (Mobile Accounting App).

Mobile Accounting App menjadi solusi yang realistis daripada aplikasi berbasis komputer, mengingat ponsel pintar sekarang ini telah menjadi barang yang terjangkau yang dapat dimiliki oleh sebagian besar pelaku UMKM. Baik dari instansi pemerintah maupun swasta berlomba-lomba untuk menyediakan aplikasi ini baik dengan gratis maupun berbayar. Beberapa aplikasi misalnya SIAPIK yang dibuat oleh Bank Indonesia; LAMIKRO – Akuntansi Usaha Mikro yang dibuat oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), dan beberapa perusahaan swasta juga membuat mobile accounting app seperti Akuntansi UKM, Akuntansiku – Aplikasi Akuntansi Keuangan UKM, Jurnal Mobile, Teman Bisnis – Aplikasi Pencatatan Keuangan Bisnis, dan lain sebagainya.

Meskipun terus berkembang, namun penerimaan mobile accounting app di Indonesia belum cukup menggembirakan. Statistik dalam google playstore misalnya, menunjukkan bahwa jumlah unduhan berbagai aplikasi beragam mulai dari 10K+ hinggap 100K+.  Penyedia layanan mobile accounting app harus terus berpacu untuk dapat meningkatkan penerimaan mobile accounting app ini agar dapat meningkatkan kesadaran dan kemampuan UMKM dalam menghasilkan laporan keuangan. Guna meningkatkan penerimaan mobile accounting app, penyedia layanan perlu untuk menyediakan layanan yang lengkap dalam aplikasi tersebut. Misalnya, mobile accounting app tidak hanya mampu menghasilkan laporan keuangan sesuai standar, namun juga mampu memvisualisasikan informasi keuangan yang lebih informatif dalam bentuk grafik, menambahkan fitur yang membantu operasional bisnis seperti memberikan notifikasi kepada pelanggan yang telah jatuh tempo piutangnya, notifikasi untuk membayar hutang dagang dan lain sebagainya. Berbagai manfaat tersebut harus mampu dikomunikasikan dengan baik untuk dapat meningkatkan keyakinan pelaku UMKM mengenai manfaat yang diperoleh dari penggunaan mobile accounting app.

Saluran komunikasi yang tepat perlu dipilih untuk dapat meneruskan informasi manfaat mobile accounting app ini kepada pelaku UMKM. Selain itu, penyedia layanan juga perlu untuk membuat mobile accounting app yang user-friendly sehingga memudahkan pelaku UMKM dalam mengoperasikan aplikasi tersebut. Keberagaman usia pelaku UMKM juga menentukan tingkat kemahiran dalam menggunakan telepon pintar, sehingga penyedia layanan juga perlu mempertimbangkan sasaran pelaku UMKM yang tepat. Testimoni dari pelaku UMKM yang telah menggunakan mobile accounting app juga perlu dipublikasikan sehingga dapat meyakinkan pelaku UMKM yang lain untuk menggunakan mobile accounting app. Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah mengenai keamanan dan mobilitas data yang ada dalam mobile accounting app. Penyedia layanan mobile accounting app perlu memastikan bahwa data yang diinputkan aman dan bebas dari kebocoran serta kemudahan untuk dapat memindahkan data yang dimiliki pelaku UMKM jika pelaku UMKM berpindah dari satu telepon pintar ke telepon pintar yang lain.

Oleh: Heri Sudarsono, Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi, FBE UII

Layanan perbankan di masa pandemi Covid-19 dituntut lebih akomodatif terhadap kebutuhan nasabah. Salah satu cara untuk memenuhi tuntutan tersebut maka perbankan harus mampu optimalkan pemanfaatan teknologi yang dimiliki. Teknologi merupakan alat yang adaptif digunakan memenuhi kebutuhan nasabah di saat pandemi tanpa kontak fisik dengan pegawai bank. Salah satu bentuk layanan berbasis teknologi adalah Internet Banking (IB). Nasabah dapat menggunakan perangkat komputer desktop, laptop, tablet, atau smartphone yang terhubung ke jaringan internet sebagai penghubung antara perangkat nasabah dengan sistem bank.

Sejumlah manfaat yang akan diperoleh nasabah apabila menerapkan IB yakni fitur IB dapat disesuaikan dengan aktivitas nasabah, di antaranya adalah transfer uang, cek saldo, akses produk perbankan seperti membuka tabungan berjangka, deposito, pinjaman KTA/KMG/KPR hingga membayar tagihan kartu kredit, listrik dan air. Selain itu, transaksi IB lebih murah bagi nasabah dibanding bertransaksi melalui ATM atau bank, di mana nasabah mengeluarkan biaya transport dan sejenisnya. Nasabah dapat melakukan transaksi lebih cepat dibanding dengan pergi ke ATM atau ke bank, di mana nasabah kadang harus menunggu cukup lama untuk antri. Kelebihan lainnya adalah IB mudah digunakan nasabah dimana saja dan kapan saja dengan berbagai perangkat seperti desktop, laptop, tablet atau smartphone.

Kendala IB

Meskipun perbankan menawarkan berbagai fasilitas IB dengan berbagai manfaatnya namun nasabah masih menghadapi kendala untuk menggunakan IB. Hal ini disebabkan rendahnya kemampuan dalam mengaplikasikan IB karena nasabah tidak familiar dengan sistem IB yang ditawarkan oleh perbankan. Selain itu, tingkat kepercayaan nasabah terhadap sistem IB juga menyebabkan nasabah khawatir data pribadi diketahui orang lain atau uang yang dimiliki hilang. Beberapa nasabah juga merasa kesulitan dalam menggunakan IB karena harus melalui proses klik-klik antar menu dan fitur. Selain itu, sejumlah nasabah juga merasa fitur IB tidak sesuai dengan kebutuhan nasabah.

Diakui, IB merupakan pilihan yang tepat bagi perbankan sebagai upaya untuk mengurangi kontak fisik antara nasabah dengan pegawai bank, serta antara nasabah dengan nasabah lainnya. Namun, selain kendala yang berhubungan dengan sistem, menu, dan fitur IB, terdapat sejumlah alasan yang menjadikan penggunaan IB tidak optimal. Alasan tersebut berhubungan dengan faktor usia nasabah. Nasabah milenial cenderung lebih banyak memanfaatkan internet banking dibanding dengan nasabah usia dewasa. Nasabah milenial cenderung suka dengan sesuatu yang mudah, cepat dan murah. Maka dari itu, milenial membutuhkan teknologi yang bisa digunakan untuk mempermudah dan mempercepat mereka mendapatkan apa yang dibutuhkan. Namun bagi kalangan nasabah usia dewasa cenderung lebih hati-hati dalam menentukan pilihan teknologi karena khawatir dengan risiko yang ditimbulkan. Oleh karenanya itu, IB banyak digunakan nasabah bank yang berstatus milenial dibanding dewasa.

Di sisi lain pemanfaatan IB juga tergantung dari pendapatan nasabah, semakin tinggi pendapatan nasabah cenderung lebih memilih IB sebagai alternatif transaksi. IB dianggap lebih mempermudah transaksi yang dilakukan karena IB menawarkan berbagai fasilitas sesuai dengan kebutuhan nasabah. Bagi nasabah yang masuk golongan pendapatan menengah ke bawah, kebutuhan IB relatif rendah karena jumlah transaksi yang digunakan relatif lebih sedikit. Kejadian ini menyebabkan kebutuhan IB lebih didominasikan oleh kelompok nasabah yang memiliki pendapatan menengah ke atas.

Kegunaaan IB ini juga dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan masing-masing bank. Apabila nasabah sudah fanatik terhadap bank tertentu, rendahnya kualitas IB tidak menjadi alasan nasabah untuk pindah ke bank lain. Nasabah fanatik cenderung lebih memilih tidak menggunakan IB dibanding harus pindah ke bank lain. Pemahaman ini sering terjadi pada nasabah fanatik, seperti sejumlah nasabah bank syariah. Walaupun beberapa IB bank syariah tidak compatible dibanding dengan bank konvensional tetapi nasabah tersebut lebih memiliki IB di bank syariah atau tidak menggunakan sama sekali.

Faktor pengetahuan nasabah juga berpengaruh terhadap pilihan nasabah untuk menggunakan IB dalam proses transaksi yang dilakukan. Masyarakat terpelajar yang tinggal di kota relatif lebih banyak memanfaatkan IB dibanding masyarakat desa. Masyarakat kota mendapatkan informasi dari berbagai pihak, dari tempat mereka belajar, tempat bekerja, kelompok teman, seperti grup media sosial. Pengetahuan cukup berpengaruh bagi nasabah untuk memutuskan apakah menggunakan IB atau tidak.

Optimalisasi Sosialisasi

IB merupakan fasilitas yang mendukung kemudahan nasabah untuk melakukan transaksi dan menjaga nasabah dari pandemi Covid-19. Perbankan perlu mempertimbangkan kembali upaya untuk meningkatkan animo nasabah dalam penerapan IB. Sosialisasi penggunaan IB bisa dilakukan secara masif melalui media sosial dengan mengajak kerja sama artis, ulama atau tokoh masyarakat. Perbankan bisa mengemas isu penggunaan IB sebagai media yang aman untuk bertransaksi.

Media sosial seperti YouTube, Facebook, dan Twitter menunjukkan tingkat aksesibilitas yang lebih tinggi karena semua orang dapat dengan mudah mengakses aplikasi ini. Per Januari 2020, sebuah riset mengungkap sepuluh media sosial utama di Indonesia yaitu Youtube (132 juta pengguna), Whatsapp 125 juta pengguna), Facebook (122 juta pengguna), Instagram (120 juta pengguna), Line (89 juta pengguna), Twitter (78 juta pengguna) juta), Facebook Messenger (71 juta pengguna), BlackBerry Messenger (57 juta pengguna), Linkedin (50 juta pengguna), dan Pinterest (4 juta pengguna) (We are Social, 2020).

Fakta ini menunjukkan bahwa media sosial telah digunakan oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, penggunaan aplikasi media sosial membantu perbankan untuk menjangkau lebih banyak masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan internet untuk membantu nasabah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tuntutan kehidupan manusia modern yang menginginkan segala sesuatunya cepat, mudah dan murah.

Terakhir, perbankan harus meningkatkan fasilitas yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan penggunaan IB. Untuk itu, sebaiknya IB tidak hanya menyediakan fasilitas online banking tetapi juga mempermudah akses online, menyediakan berbagai menu yang sesuai dengan kebutuhan nasabah, dan meluncurkan fitur yang lebih menarik. Bank perlu berkonsentrasi untuk menyediakan saluran IB yang sesuai dengan teknologi umum lainnya yang digunakan oleh nasabah. Pada saat yang sama, bank perlu meyakinkan nasabah bahwa menggunakan IB ini lebih aman untuk transaksi dan lebih aman bagi kesehatan.

Oleh: Arif Hartono, Dosen Jurusan Manajemen, FBE UII

Munculnya bencana global dalam bentuk pandemi Covid-19, disadari atau tidak telah banyak merubah perilaku kita sebagai konsumen dalam banyak hal. Salah satunya adalah perilaku berbelanja kita. Peritail online seperti Amazon mendulang keuntungan luar biasa seiring dengan melonjaknya transaksi belanja online selama pandemi. Hal tersebut secara jelas menandai banyaknya konsumen yang melakukan atau beralih berbelanja online selama pandemi.

Namun dalam penelitian empiris, sampai dengan saat ini masih memiliki wawasan yang terbatas tentang pengaruh Covid-19 terhadap klasterisasi konsumen berdasarkan perilaku dan sikap konsumen dalam melakukan adaptasi belanja. Sehingga pertanyaan tentang “bagaimana dan siapa” konsumen Indonesia dalam melakukan adaptasi berbelanja selama pandemi Covid-19 belum dapat terjawab.

Untuk itu tulisan ini mengupas secara singkat hasil studi empiris yang dilakukan oleh dosen gugus pemasaran, Prodi Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia terhadap 465 konsumen Indonesia. Penelitian tersebut juga diyakini bahwa perilaku dan sikap konsumen dalam melakukan adaptasi belanja selama pandemi bersifat multidimensi sehingga diyakini akan muncul keragaman pada perilaku dan sikap konsumen dalam melakukan adaptasi belanja. Selain kontribusi pengayaan literatur, implikasi penting dari penelitian tersebut adalah kontribusi practical insights yang dapat dimanfaatkan oleh pemain bisnis retail agar dapat memahami profil dari segmen-segmen konsumen mereka di masa pandemi yang mungkin berbeda atau bergeser perilaku dan sikapnya.

Agar dapat menjawab pertanyaan “bagaimana perilaku dan sikap adaptif konsumen dalam berbelanja” selama pandemi dan “siapakah sebenarnya mereka”, maka perlu ditentukan beberapa faktor untuk mengidentifikasi mereka. Faktor-faktor tersebut lazim dilakukan oleh konsumen di masa sulit misalnya ketika terjadi resesi ekonomi. Panic buying, yaitu konsumen yang memiliki tingkat kekhawatiran yang tinggi sehingga mendorong mereka untuk memborong dan menumpuk stok bahan makanan selama pandemi. Reduce and shift consumption, yaitu respon konsumen dalam melakukan penghematan dengan cara mengurangi belanja produk non-essentials dan beralih membeli produk yang lebih murah selama terjadinya pandemi. Price sensitive, yaitu cara beradaptasi yang dilakukan oleh konsumen dengan mengedepankan pembelian produk murah untuk berhemat. Shifting on e-grocery shopping, yaitu cara konsumen untuk menghindari penularan Covid-19 dengan banyak melakukan belanja secara online selama pandemi. Health consciousness, yaitu sikap konsumen terhadap kepedulian yang kuat terhadap isu kesehatan selama terjadinya pandemi. Willingness to donate, yaitu sikap kepedulian konsumen terhadap sesama terutama pada korban yang terdampak Covid-19 sehingga mendorong konsumen untuk membantu dengan mendonasikan uang mereka. 

Klaster 1 Rational, Health and Social Conscious Adapters

Jumlah konsumen yang dapat diklasifikasikan dalam klaster ini sebanyak 104 atau 22.37% dari total responden. Konsumen dalam klaster ini cenderung bersikap rasional dalam berbelanja dengan mengalokasikan pada keperluan yang penting atau melakukan adaptasi terhadap prioritas kebutuhan. Selain itu mereka juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama terutama dalam hal kesehatan yang diwujudkan dengan keinginan untuk mendonasikan uang guna membantu korban terdampak pandemi. Berdasarkan sisi kemampuan ekonomi, mayoritas mereka berasal dari konsumen dengan pendapatan maksimal 10 juta atau kurang per bulannya atau dari kalangan menengah ke bawah. Sehingga tidak mengherankan jika pilihan adaptasi yang digunakan adalah dengan menjadi konsumen yang rasional.

Klaster 2 Non-Panic, Young, and All-Around Adapters

Konsumen dalam klaster ini memiliki proporsi jumlah konsumen terendah, sekitar 13.12% atau 61 konsumen. Kelompok konsumen tersebut didominasi oleh konsumen muda dengan umur maksimal 50 tahun dengan jumlah prosentase 67%. Keunikan dari klaster ini adalah konsumen menggunakan hampir semua faktor adaptasi di masa pandemi kecuali panic buying

Klaster 3 Wealthy, Young, and Non-Price Adapters

Konsumen dalam kelompok ini berjumlah sekitar 103 orang atau sekitar 22.15% dari total responden. Kelompok ini di dominasi oleh konsumen muda (maksimal 50 tahun) dengan penghasilan minimal 11 juta atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan mereka berasal dari keluarga mampu. Sehingga tidak mengherankan jika latar belakang ekonomi tidak membuat mereka menjadi konsumen yang sensitif terhadap harga.  

Klaster 4 Minimum Adapters

Kelompok konsumen keempat merupakan kelompok paling berbeda diantara yang lain karena cenderung tidak mengimplementasikan semua variabel adaptasi. Kelompok ini terdiri dari 81 konsumen atau sekitar 17.42% dari total responden. Sekitar 52% dari kelompok ini berasal dari kelompok ekonomi bawah.

Klaster 5 Thrifty, Health, and Social Conscious Adapters

Kelompok terakhir memiliki jumlah konsumen terbesar yaitu hampir 25% atau 116 konsumen. Kelompok ini memiliki sikap dan perilaku berhemat dengan cara mengurangi konsumsi yang tidak menjadi prioritas, beralih konsumsi, dan sensitif terhadap harga. Namun di sisi lain kelompok ini sangat menjaga dan peduli terhadap kesehatan dan melakukan donasi meskipun mereka berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Implikasi Bagi Peritail

Pelajaran penting bagi peritail tentang informasi kelima profil atau segmen konsumen yang memberikan peluang sekaligus tantangan bagi peritail. Pertama, dua kelompok segmen atau klaster yang memiliki perilaku dan sikap rasional dan berhemat memberikan peluang adanya bisnis penjualan barang-barang murah atau terjangkau. Contoh bisnis ini adalah toko “Poundland” yang tersebar di banyak kota di negara Inggris. Toko tersebut menjual barang-barang keperluan sehari-hari dengan harga yang sangat terjangkau yaitu 1 poundsterling. Kedua, kelompok segmen atau klaster yang memiliki kepedulian terhadap kesehatan dan sosial juga memberikan peluang bagi peritail. Misal, penawaran produk-produk kesehatan yang banyak dicari oleh konsumen selama pandemi. Sebagai bentuk kepedulian kepada konsumen, pemain bisnis ritail juga dapat menjadi sponsor dari berbagai kegiatan amal dan sosial selama pandemi untuk meningkatkan citra perusahaan. Ketiga, kelompok segmen atau klaster konsumen muda yang banyak beralih berbelanja produk secara online dapat difasilitasi sarana belanja online yang lebih beragam dan memudahkan konsumen. Terakhir adalah bagaimana dengan Anda, termasuk segmen manakah Anda? 

Oleh: Faaza Fakhrunnas, Dosen Analisis Investasi dan Asuransi Islam, Prodi Ekonomi Pembangunan, FBE UII

Sebelum adanya pandemi Covid-19, kondisi perekonomian global masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Walaupun sebelum Covid-19 ini perekonomian global diselimuti dengan beberapa ancaman yaitu ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran, perang dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang dipicu oleh kesepakatan green deal UE, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta isu brexit yang belum selesai. Namun, secara keseluruhan kondisi ekonomi global sebelum pandemi Covid-19 masih baik dan prospektif untuk melakukan investasi.

Tidak hanya perekonomian global yang masih positif, sebelum pandemi pun perekonomian nasional masih cukup baik dilihat dari IHSG pada awal Januari yang sempat menyentuh angka 6300, hal ini adalah salah satu capaian yang baik dan menarik bagi Indonesia. Tidak hanya itu prospek ekonomi nasional juga masih stabil, dimana pertumbuhan ekonomi berada pada level lima sampai lima setengah persen. Kemudian regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintah, kondisi rupiah yang cenderungnya lebih stabil dan cadangan devisa kita yang bagus menjadi daya tarik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Kondisi Pasar Modal Setelah Pandemi

Virus covid-19 di Indonesia pertama kali ditemukan sekitar awal atau pertengahan Maret. Setelah virus ini ditemukan tren IHSG menjadi menurun. Karena pada saat itu muncul isu-isu mengenai Covid-19 yang mulai meluas dari Wuhan ke Jepang, Korea dan Negara Singapura yang paling dekat dengan Indonesia. Sehingga penurunan ini menyebabkan IHSG kita mengalami penurunan sampai di bawah level 4000. Penurunan ini tentunya juga tidak lepas dari sentimen investor yang melihat bahwa pemerintah Indonesia pada waktu itu belum serius dalam menangani Covid-19 ini sehingga ketika krisis kesehatan terjadi dan sentimen-sentimen itu ada, membuat para investor lebih memilih untuk menarik dananya dari pasar modal sehingga hal tersebut tentunya membuat harga saham mengalami penurunan.

Pengaruh Covid-19 terhadap Pergerakan Pasar Modal

Pergerakan pasar modal apabila ini adalah investasi maka akan sangat dipengaruhi oleh perusahaan. Ketika PSBB terjadi banyak perusahaan-perusahaan yang kolaps. Jika kita lihat pada hari ini, perusahaan-perusahaan yang listing di pasar modal, yang berperan di bidang pariwisata semuanya negatif. Sehingga kalau kita lihat, tidak hanya aspek finansial perusahaan yang terpukul karena pandemi covid-19, namun juga aspek riil dan fundamental juga ikut terkena imbasnya. Sehingga wajar saja harga saham sempat jatuh atau bahkan sekarang harga saham performance nya tidak sebaik sebelum terjadinya pandemi.

Meskipun banyak perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bertahan di tengah kondisi saat ini, namun perusahaan telekomunikasi kinerjanya justru membaik pada masa pandemi ini. Selama pandemi ini perusahaan Telkomsel, XL, Indosat memiliki laba yang luar biasa, karena pemakaian internet selama Work From Home (WFH) dan belajar dari rumah semakin tinggi. Dan beberapa perusahaan yang bergerak di sektor food and beverage seperti halnya indofood sukses makmur juga cukup baik karena meskipun pandemi ini melanda, kinerja perusahaannya tetap naik, hal tersebut dikarenakan perusahaan Indofood memproduksi kebutuhan dasar yang saat ini juga dibutuhkan.

Perilaku Investor dalam Berinvestasi pada Masa Pandemi

Fluktuasi di pasar modal mempengaruhi perilaku investor dalam berinvestasi karena kita menganalisis pasar modal tidak hanya sekedar melihat angka saja, tetapi kita juga melihat dari aspek keuangan perilaku atau ekonomi perilaku seorang investor. Apabila investor tersebut kecenderungannya adalah investor yang menghindari risiko atau bahkan moderate, maka barangkali investor tersebut akan memilih untuk menarik dananya dari pasar modal dan kemudian menginvestasikan dananya pada skema atau instrumen-instrumen investasi yang save haven atau investasi yang memiliki tingkat risiko rendah misalnya adalah emas. Apabila investor tersebut merupakan investor yang risk taker mungkin dia akan tetap mempertahankan investasinya.

Memilih Sumber Bacaan yang Tepat Untuk Mengetahui Arus Investasi Terkini

Menjadi langkah awal yang tepat bagi seseorang yang ingin memperdalam ilmu investasi dengan menemukan sumber bacaan yang relevan. Dalam perspektif Islam, penting rasanya untuk mampu membedakan jenis investasi yang halal atau haram. Maka dari itu, diperlukan referensi-referensi yang mendasar seperti buku Islamic Financial System dan buku Islamic Capital Market. Tentu, buku textbook saja belum cukup. Kita juga harus mendapatkan sumber-sumber bacaan yang bersifat up-to-date untuk memahami aktivitas investasi secara riil. TIME Magazine dan Bloomberg menjadi salah dua majalah yang direkomendasikan. Selain itu, arus investasi juga bisa diperhatikan lewat pembaruan-pembaruan yang diberikan oleh lembaga-lembaga terkait seperti Lembaga Manajemen Aset Negara.

Rekomendasi Investasi yang Cermat Saat Ini

Tidak ada yang mengetahui investasi apa yang paling tepat selain diri sendiri. Sebaiknya, kenali terlebih dulu profil risiko diri sendiri dalam berinvestasi. Apakah kita cenderung orang yang tergolong risk averse (menghindari risiko), moderat, atau risk taker (pengambil risiko). Dengan kondisi ketidakpastian yang cenderung tinggi saat ini, seorang risk averse akan memilih instrumen investasi dengan tingkat stabilitas yang baik seperti emas. Berinvestasi emas saat ini sudah dimudahkan, karena tidak harus membeli secara langsung, tetapi bisa dilakukan dengan menyicil di bank-bank syariah. Pilihan lainnya adalah dengan berinvestasi pada sukuk ritel atau deposito dengan menggunakan akad mudhorobah. Sementara itu, seorang yang tergolong risk taker tentu akan memilih instrumen investasi yang berisiko, namun memberikan return yang tinggi. Di pasar saham, perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, telekomunikasi, dan food and beverage menjadi primadona saat ini. Dengan menganalisa aspek fundamental berupa laporan keuangan perusahaan, akan tercermin apakah perusahaan tersebut layak untuk diinvestasikan atau tidak. Salah satu yang menjadi acuan adalah capital expenditure perusahaan, semakin tinggi nilainya, maka tinggi juga kemungkinan perusahaan untuk terus berkembang dan otomatis menghasilkan return yang besar bagi investornya.

Editor: Daffa Hakim K. & Annisarinda Syahputri

 

Oleh: Achmad Tohirin, Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi, FBE UII

Pandemi Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir telah dan sedang memberikan banyak pembelajaran bagi masyarakat maupun individu. Jika dilihat dari aspek kesehatan, jelas Covid-19 merupakan ancaman dan tantangan sekaligus bagi para pakar kesehatan dan bidang terkait, terutama adalah menemukan cara penanggulangan dan pencegahan serta mitigasi pandemi tersebut. Selain itu, dalam menanggulangi pandemi Covid-19 tentu menyeret sektor-sektor kehidupan lain seperti ekonomi, politik, sosial, agama, dan lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pandemi ini menciptakan berbagai macam komplikasi persoalan pada negaranegara yang terlanda.

Hingga saat ini penanganan wabah Corona menuntut adanya disiplin sosial yang tinggi di masyarakat. Dengan dibuatnya imbauan ‘jaga jarak’ mengharuskan orang-orang untuk tidak berkumpul dalam jumlah banyak dalam satu tempat dan waktu. Pembatasan tersebut mengakibatkan beberapa hal seperti, sekolah ditutup sementara dan digantikan dengan pembelajaran daring; tempat peribadahan kini menyesuaikan; bahkan titik-titik kegiatan ekonomi sekarang juga sudah dibatasi. Aspek ekonomi saat ini nampaknya menjadi paling krusial karena terkait kegiatan mencari nafkah bagi masyarakat. Sejumlah industri ikut terdampak langsung dengan menutup usahanya sehingga mendorong naiknya tingkat pengagguran dan pada gilirannya menciptakan masalah sosial lainnya.

Kebijakan Ekonomi Kepada UMKM Pada Negara OECD

Negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) kini memberlakukan kebijakan yang spesifik ditujukan kepada UMKM, diantaranya; memberlakukan pengurangan jam kerja, PHK sementara, atau cuti sakit; pemerintah menyediakan dukungan upah dan pendapatan bagi para pekerja yang terdampak langsung; penyediaan loan guarantees agar bank komersial dapat memberikan pinjaman langsung kepada UKM, mengucurkan pinjaman langsung kepada UKM melalui lembaga-lembaga public, penyediaan hibah dan subsisi kepada UKM dan perusahaan lain untuk menjembatani jatuhnya pendapatan mereka. Saat ini juga terdapat kebijakan-kebijkan struktural untuk membantu UKM menyesuaikan diri dengan metode kerja baru dan teknologi digital dan untuk mendapatkan pasar baru serta saluran penjualan untuk keberlangsungan operasi mereka dalam situasi penangan pandemi Covid19 dan masih banyak strategi lain.

Dampak Covid-19 Terhadap UMKM di DIY Kepala Bidang Usaha Kecil Mikro (UKM)

Dinas Koperasi UKM Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta Rihari Wulandari Jumat (3/4). Pandemi COVID-19 memberikan dampak di hampir semua sektor UMKM di Kota Yogyakarta, namun sektor yang paling terdampak adalah usaha di bidang fashion dan kerajinan, atau suvenir. Di Kota Yogyakarta terdapat sekitar 24.000 pelaku UMKM dari berbagai sektor usaha, dengan sekitar 6.000 di antaranya sudah mengantongi izin usaha mikro. Pelaku UMKM sangat bergantung pada pendapatan harian, sehingga jika tidak memproduksi barang, tidak ada pendapatan yang masuk. Dengan begitu, perlu adanya inovasi UMKM yang dilakukan dengan mengalihkan jenis usaha dan produk yang dihasilkan, misalnya pelaku usaha batik, mengalihkan usahanya dengan memproduksi masker kain, pelaku usaha kerajinan yang mengalihkan usahanya ke usaha kuliner yang masih banyak dibutuhkan oleh masyarakat, membuat berbagai minuman dari bahan rempah-rempah, atau membuat makanan ringan. Pentingnya memberikan motivasi kepada pelaku UMKM yang masih berusaha bertahan melakukan penjualan secara daring melalui grup percakapan seperti WhatsApp.

Posisi UMKM dalam Menciptakan Ekosistem yang Sehat

UMKM memiliki peran strategis dalam sejumlah hal antara lain, kemampuan menciptakan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran, selain itu UMKM juga mampu menyumbangkan nilai tambah yang signifikan dalam perekonomian. Akses usaha yang dilakukan lebih merata secara geografis dan memiliki mobilitas yang tinggi juga merupakan kelebihan yang dimiliki UMKM. Para pelakunya yang mempunyai daya kreasi yang tinggi serta kebanyakan dari mereka yang masih tergolong pemula dalam bidang entrepreneurship tentu menjadi peluang tersendiri, karena merupakan orang-orang yang memiliki semangat yang besar. Dengan begitu, lingkungan UMKM perlu dibangun untuk mendorong berkembangnya UMKM yang kuat dan mandiri. Sebagai langkah yang baik, aspek regulasi, dan insentif perpajakan perlu mendorong pengembangan UMKM.

Dana Abadi (Wakaf Tunai) UMKM

Dalam situasi mendatang, pengembangan urgensi kemandirian UMKM menjadi sangat diperlukan. Turunnya omset penjualan yang dipicu oleh dampak penanggulangan Covid-19 membutuhkan sejumlah upaya untuk antisipasi bahkan mengatasi hal tersebut. Ketersediaan sumberdaya keuangan menjadi satu kebutuhan dalam masa-masa yang sulit, utamanya sumberdaya keuangan komersial yang seringkali tidak mudah diakses oleh UMKM. Oleh karena itu, keberadaan Dana Abadi bagi UMKM menjadi strategis untuk dimunculkan.

Sumber penghimpunan Dana Abadi dapat berasal dari masyarakat secara umum dan pemerintah (pusat atau daerah). Dengan begitu, perlu dibangun konsensus tentang pentingnya Dana Abadi untuk UMKM sehingga dapat tercipta public trust sebagai dasar utama pengelolaan Dana Abadi. Dana Abadi yang terhimpun dapat digunakan secara langsung kepada pelaku UMKM maupun tidak langsung melalui investasi produktif lainnya. Keberadaan Dana Abadi ini dapat mendorong korporasi social. Pengembangan korporasi sosial dapat mendukung kekuatan sistem perekonomian dengan menguatkan aspek kebersamaan (altruistic behavior) dari masyarakat. Dana Abadi untuk UMKM juga menjadi salah satu penanda dari pengembangan keuangan sosial (social finance) untuk berjalan seiring dengan keuangan komersial (commercial finance). Sejumlah sumber menyebutkan bahwa penyaluran dana abadi biasanya memang digunakan untuk tujuan social. Dengan adanya pandemi Covid-19 ini, maka tujuan social lebih ditekankan utamanya bagi para pelaku ekonomi menengah seperti UMKM yang masih melanjutkan usahanya. Dalam konteks Islam Dana Abadi dapat dikembangkan berbasiskanWakaf Tunai, yang dalam pelaksanaannya dapat disinergikan dengan dana-dana keuangan publik lainnya seperti Zakat Infaq dan Sedekah (ZIS). Sinergi dari Dana Abadi dengan ZIS menjadi bagian dari pengembangan Sistem Ekonomi Islam dengan menonjolkan karakter sosialnya.

Editor: Adelia Widya Fitriana

Oleh: Hendy Mustiko Aji, Dosen Pemasaran Syariah, Jurusan Manajemen, FBE UII

Pemasaran syariah telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dipengaruhi oleh tumbuhnya industri halal di berbagai negara di dunia, tidak hanya negara dengan populasi mayoritas Muslim, tetapi juga di negara-negara dengan populasi Muslim minoritas. Tumbuhnya industri pariwisata yang menggunakan syariah seperti industri kuliner, farmasi, kosmetik, perbankan, dan logistik menjadi salah satu alasan kuat berkembangnya adaptasi hukum Islam (syariah) di dalam dunia bisnis.

Topik tentang pemasaran syariah sangat relevan jika diawali dengan pertanyaan mendasar, yakni “apa yang salah dari pemasaran konvensional?”. Pertanyaan tersebut menjadi titik awal yang membangun paradigma di dunia bisnis, khususnya bisnis yang berbasis syariah, guna memahami mengapa bisnis membutuhkan pemasaran syariah.

Kritik terhadap pemasaran konvensional

Konsep pemasaran konvensional secara singkat bersifat market-driven (didorong oleh keinginan pasar) yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dengan cara menciptakan value bagi mereka. Konsekuensi dari pemasaran konvensional adalah untuk mendorong volume penjualan sebanyak-banyaknya dan pada akhirnya guna memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya. Jika orientasi bisnis hanya sebatas volume penjualan atau pada keuntungan semata, menurut penulis, maka konsep pemasaran konvensional tak memiliki masalah.

Namun demikian, jika ditelisik lebih dalam, konsep pemasaran konvensional yang didorong oleh keinginan pasar ini memiliki dampak negatif terhadap etika dan moral di pasar. Landasan aksiologi dalam konsep pemasaran konvensional yang terlalu relatif, membuatnya tak memiliki standar moralitas yang dijadikan sebagai rujukan utama. Dalam bahasa lain, sistem etika dalam konsep pemasaran konvensional bersifat bebas nilai (value-free) atau sekuler. Akibatnya, standar bahwa sesuatu dianggap benar atau salah, atau standar bahwa sesuatu dianggap baik atau buruk, ditentukan secara relatif berdasarkan bagaimana konsumen memersepsikannya. Relativitas dalam standar moral itulah yang kemudian menjadi sumber permasalahan etika dan moral yang terjadi pada praktik pemasaran konvensional secara global.

Dampak negatif: rusaknya moralitas pasar

Tidak adanya standar baku dalam hal moralitas pada konsep pemasaran konvensional menciptakan banyak dampak negatif terhadap perilaku pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam pasar. Berikut adalah contoh pelanggaran moral dalam pemasaran konvensional yang terjadi di sekitar kita, di antaranya: menjamurnya kredit daring (online) di Indonesia yang banyak memakan korban dari masyarakat menengah ke bawah; jumlah manusia yang meninggal akibat rokok (baik secara aktif maupun pasif); banyaknya masyarakat yang terpapar dampak negatif narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA); kecenderungan “saling membunuh” dalam kompetisi bisnis; iklan yang menipu masyarakat; dan munculnya dugaan praktik kartel harga atau oligopoli yang dilakukan maskapai di Indonesia.

Semua masalah di atas terjadi karena semua pihak bebas menafsirkan standar moralitas sesuai kehendak mereka. Dalam konteks kasus dugaan kartel harga tiket pesawat misalnya, konsumen banyak yang merasa dizalimi, namun maskapai bisa saja membela diri dengan menggunakan prinsip penawaran dan permintaan guna menjadi alasan, di mana banyaknya permintaan tiket pesawat dengan pasokan yang terbatas, mengakibatkan harga melambung tinggi. Padahal mestinya harga yang ditetapkan tidak “murni” mengikuti prinsip penawaran dan permintaan, melainkan diduga diatur atau diintervensi oleh kekuatan kartel.

Contoh lain dari dampak negatif pemasaran konvensional adalah banyaknya masyarakat yang menjadi korban dari asap rokok, namun perusahaan rokok tidak akan mau disalahkan begitu saja sebagai penyebab suatu penyakit yang diderita masyarakat, yang tidak sedikit di antara mereka berujung dengan kematian. Mereka akan berdalih bahwa banyak karyawan yang akan menjadi pengangguran jika pabrik rokok ditutup. Selanjutnya, laporan keluhan konsumen terhadap perusahaan kredit online menunjukkan tren yang tinggi pada kuartal akhir tahun 2018 lalu, namun perusahaan kredit online juga akan membela diri dengan melempar semua kesalahan kepada konsumen karena telat membayar atau karena kredit macet. Semua contoh di atas menunjukkan bahwa semua pihak bebas menafsirkan standar baik dan buruk, sehingga mengakibatkan kerusakan pada moralitas pasar. Rusaknya moralitas pasar di suatu negeri akan menjadi penyebab murka dan azab dari Allah, sebagaimana firman Allah berikut:

Dan tidaklah Kami akan menghancurkan negeri-negeri itu kecuali karena para penduduknya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Qashash: 59).

Keadilan dalam syariah

Secara umum konsep pemasaran syariah secara epistemologi bersifat sharia-driven (digerakkan oleh syariah sebagai sumber hukum) yang berorientasi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen serta menciptakan value bagi mereka selama tidak bertentangan dengan sumber utama di dalam Islam, yakni Alquran dan Hadis. Konsep aksiologi dalam pemasaran syariah pun jelas, di mana standar moralitas (benar atau salah dan baik atau buruk) yang digunakan, semuanya bersumber dari Alquran dan Hadis, baik yang bersifat qouli (ucapan), fi’li (perbuatan), maupun taqriri (persetujuan atas perbuatan para sahabat Rasul). Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam berikut:

Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa: 59).

Kejelasan sumber etika dan moralitas pemasaran syariah (Alquran dan Hadis) inilah yang membedakan konsep pemasaran konvensional dengan pemasaran syariah. Kejelasan sumber moralitas dan rangkaian masalah-masalah yang dijelaskan di atas, merupakan alasan ontologis mengapa pemasaran yang berbasis syariah sangat dibutuhkan?. Tujuannya satu, yakni untuk menciptakan keadilan yang sebenar-benarnya bagi seluruh stakeholders di pasar. Tujuan ini juga sejalan dengan konsep maqashid (tujuan) syariah,  yakni untuk menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.

Dalam menjaga kelima hal tersebut, pemasaran syariah memiliki tujuan untuk menjaga moralitas pasar sehingga terciptalah keadilan di dalam pasar bagi seluruh stakeholders. Konsep keadilan dalam pemasaran syariah diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan yang disebutkan sebelumnya. Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat global perlu mengkaji dan mengimplementasikan pemasaran syariah di dunia bisnis.

Editor: Baziedy A. Darmawan

Ilmu dan praktik akuntansi saat ini terus mengalami perkembangan di berbagai cabang keilmuannya. Tak hanya pada cabang ilmu akuntansi yang umumnya menjadi pokok mata kuliah di perguruan tinggi seperti akuntansi keuangan, akuntansi manajemen, akuntansi biaya dan pengauditan, namun cabang ilmu akuntansi juga semakin berkembang dalam bidang-bidang khusus sebagai akibat dari perkembangan dunia bisnis serta pengaruh sosial, politik dan berbagai faktor lainnya. Read more