Potensi dan Peran Aktif Bank Syariah Indonesia
Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam perkembangan keuangan syariah. Namun, pandemi COVID-19 yang hingga kini belum berakhir memaksa kita untuk membuka mata tentang bagaimana dampak dan pengaruh pandemi pada perkembangan dan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia.
Islamic Economics Study Club (IESC) Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia mengadakan diskusi yang dilakukan secara daring via zoom dengan tema “Mengulik Arah Perkembangan Bank Syariah Indonesia”. Diskusi ini berlangsung pada hari Sabtu (16/06) dengan melaksanakan sesi pemaparan materi yang disampaikan oleh Faisal Basri, S.E., M.A.
Faisal Basri, S.E., M.A. menjelaskan bahwa pandemi COVID-19 secara tidak langsung membuka kotak pandora bagi kita, memperlihatkan bagaimana sebenarnya struktur ekonomi Indonesia masih rapuh. Di era pandemi ini, setidaknya masyarakat Indonesia harus mampu untuk menciptakan value creation, yaitu bagaimana meramu berbagai karunia Allah swt. yang diberikan kepada kita agar menghasilkan barang dan jasa yang baru serta menciptakan inovasi dan pembaruan.
Sayangnya, hingga saat ini peranan bank syariah masih relatif sangat rendah. Per November 2020, aset total bank syariah sebesar Rp 592 triliun, sedangkan aset bank umum sebesar Rp 9.053 triliun. Pangsa aset bank syariah hanya sekitar 6,5 persen.
“Perbankan syariah itu menjunjung tinggi kegiatan produktif yang memberikan maslahat bagi rakyat banyak serta mengedepankan semangat pembaruan,” ucapnya.
Dari sisi positif, bank syariah memiliki keunggulan prinsip yang tak terelakkan. Bank syariah dikatakan lebih mengutamakan prospek suatu bisnis atau industri. Untuk mendukung hal tersebut, bank syariah membutuhkan analisis kredit yang memahami sektor-sektor bisnis yang nantinya menjadi prioritas. Lebih jauh, kemudian bank syariah juga akan memberikan bantuan teknis kepada debitur.
“Jadi, bank syariah bukan hanya sekedar memberikan pinjaman kepada debiturnya. Namun, bank syariah memberikan pendampingan khusus pada bisnisnya. Harapannya, debitur akan terpacu produktivitas dan tingkat daya saingnya sehingga mampu memberikan maslahat bagi umat.” sambung Faisal.
Profil unit bisnis di Indonesia pada 2018 mencatat, sektor mikro menjadi mayoritas dengan persentase 89%. Ironisnya, perbankan konvensional belum menyentuh sektor tersebut.
“Bank konvensional cenderung menganggap unit bisnis skala mikro kurang bankable”, tutur Faisal. Menurutnya, hal ini mengindikasikan perbankan yang tidak sehat.
“Pada dasarnya, perbankan adalah jantung ekonomi. Tugas perbankan adalah menyedot darah (dana) dari masyarakat, kemudian dipompanya kembali pada sekujur perekonomian.” (NFF/DHK)