Angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia diperkirakan akan meroket tajam di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan data terakhir World Bank, menunjukkan bahwa angka kemiskinan Indonesia telah mencapai sekitar 24 juta lebih. Selain itu, mengutip dari penyampaian Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah sekitar dua juta orang lebih telah di PHK secara massal. Hal yang mengejutkan adalah sekitar 1,5 juta tenaga kerja yang di PHK justru berasal dari sektor formal. Pertumbuhan ekonomi di kuartal I juga menurun sebesar 2,97% karena dampak awal merebaknya virus ini. Isu-isu di atas inilah, yang menjadi alasan bagi Pusat Pengkajian Ekonomi (PPE) Jurusan Ilmu Ekonomi FBE UII, mengadakan webinar diskusi ekonomi bertajuk “Menyoroti Kemiskinan dan Pengangguran Pasca Covid-19”, Selasa (12/5).
Data menunjukkan bahwa kondisi ekonomi global sebelum adanya pandemi sudah mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perang dagang Amerika-China dan harga komoditas minyak bumi yang sedang tidak stabil. Kini, kondisi tersebut diperparah dengan munculnya pandemi Covid-19, sehingga indikator terjadinya resesi ekonomi kian bertambah.
Bhima Yudhistira Adhinegara selaku pemateri yang juga merupakan peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menjelaskan bahwa krisis yang diakibatkan oleh Covid-19 ini unik dan berbeda dari krisis-krisis sebelumnya. “Krisis akibat Covid-19 tidak bisa dibandingkan dengan krisis moneter tahun 1998 maupun 2008, karena ada fenomena yang disebut decoupling”, terang Bhima.
Bhima menjelaskan bahwa kondisi finansial Indonesia pada 1998 memang sangat menderita. Bahkan terjadi kerusuhan massal dan krisis multidimensi. Namun, dalam waktu singkat, geliat bisnis UMKM tumbuh relatif cepat. Maka sering dikatakan pula pada krisis 1998 ketika sektor formal mengalami PHK massal, ada sektor informal yaitu UMKM yang mampu menyerap ekses tenaga kerja dari manufaktur. Sedangkan hal tersebut tidak terjadi pada tahun 2020.
Diterapkannya Work From Home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih menjadi pro-kontra karena dianggap hanya memihak kaum middle class. Tak hanya memukul kondisi ekonomi makro, sektor perkantoran dan UMKM juga kelimpungan dalam mempertahankan cash flow-nya. Banyak perkantoran dan UMKM yang terpaksa tutup membuat gelombang PHK kian membesar.
Bahkan World Trade Organization (WTO) menyatakan bahwa krisis ekonomi Covid-19 mirip dengan The Great Depression 1930. “Kondisi krisis keuangan tahun 1998 dan 2008 cenderung cepat pulih. Berbeda dengan krisis tahun ini, selain dihadapkan dengan krisis keuangan, juga dihadapkan dengan krisis kesehatan,” tambah Bhima.
Ia juga menjelaskan bahwa terdapat dua model pemulihan pasca krisis. Pertama model ‘V shape’, yang menyatakan perekonomian negara akan terpuruk karena krisis, namun hanya membutuhkan waktu singkat untuk pulih. Sedangkan yang kedua adalah ‘U shape’, dimana perekonomian akan terpuruk namun butuh waktu lama untuk tahap pemulihannya.
Masa pemulihan pasca krisis tentu tergantung pada kecepatan penanganan Covid-19, besarnya stimulus, kompensasi bagi UMKM yang tidak bisa berjualan, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Senada dengan hal tersebut, Bhima juga mengajukan pendekatan 10 program radikal bidang ekonomi. “Perlu adanya program-program radikal untuk menjadi stimulus pemulihan ekonomi pasca krisis Covid-19, yaitu tambahan dana riset kesehatan, universal basic income (khusus korban PHK), rombak total Kartu Pra-Kerja, tunda proyek-proyek mercusuar, pajak progresif orang kaya, restrukturisasi utang pemerintah, potong gaji pejabat, realokasi anggaran, solidaritas global dalam bidang kesehatan, dan kerja sama ekonomi serta galang solidaritas lokas melalui dapur umum”, pungkasnya. (DYH/ERF)