Siklus ekonomi dan perputaran uang dari waktu ke waktu memang seharusnya mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Dari tradisi sistem barter kemudian tercipta uang kartal dan kini mulai lahir mata uang virtual yang mulai digandrungi oleh generasi milenial. Mata uang ini begitu diminati karena mudahnya bertransaksi antarnegara dengan cepat dan tepat. Selain itu, peluangnya yang begitu besar untuk mendapat capital gain juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para calon investor. Masyarakat dunia pun berbondong-bondong memburu cryptocurrency salah satunya bitcoin. Namun, hal ini tentu menjadi suatu perdebatan terkait pro dan kontra cryptocurrency. Dengan penjelasan dan arahan dari para pakar, harapannya para peserta yang hadir dalam Seminar Nasional “Risk and Benefit Cryptocurrency di Indonesia” bisa menemukan titik terang dari teka-teki mata uang baru tersebut. Hal itulah yang disampaikan oleh Reza Widhar Pahlevi, S.E., M.M. dalam memberikan sambutan di Seminar Nasional yang bekerjasama dengan Fakultas Hukum UII, BI Institute dan SIP Law Firm.
Cryptocurrency merupakan inovasi teknologi baru dan suatu perkembangan dari E-Commerce yang hadir untuk memudahkan masyarakat untuk bertransaksi dan berinvestasi. Namun dari segi regulasi mata uang ini sangat dilarang sebagai alat pembayaran yang sah oleh pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 yang mengatur setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah.
Jika ada pengguna cryptocurrency yang menuntut karena dirugikan, maka tuntutan itu tidak berlaku. “Seseorang yang dianggap merugikan jelas tidak bisa dituntut secara perdata, karena tidak ada lembaga yang menjamin mata uang itu di Indonesia.” ujar Lucky Suryo Wicaksono, S.H, M.Kn, selaku dosen FH UII sekaligus pembicara pertama di acara yang berlangsung di Prima SR Hotel and Convention (20/10) ini. Merespon hal tersebut, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) berniat memperbolehkan cryptocurrency untuk diperjualbelikan di pasar berjangka. Namun hal itu masih merupakan rencana yang belum dilaksanakan BAPPEBTI sendiri.
Jika dilihat dari karakteristiknya, mata uang ini jelas beresiko. Tidak terdapat pengaturan penyelenggaraan termasuk pengelolaan algoritma virtual currency karena tidak ada entitas sentral dan tidak ada pihak yang menangani keluhan dan komplain. Ditambah pseudonymity atau identitas pelaku pasar yang bisa tersamarkan dengan transaksinya sehingga bisa dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal. Hal tersebut yang dijelaskan oleh Danarto, perwakilan dari Bank Indonesia Institute sebagai pembicara kedua.
Dengan berbagai macam pertimbangan, BI sebagai bank sentral Indonesia memperingatkan masyarakat untuk tidak melakukan transaksi menggunakan virtual currency karena rentan resiko pencucian uang, minimnya perlindungan konsumen, dan potensi resiko terhadap kestabilan sistem keuangan. BI juga melarang virtual currency sebagai alat pembayaran di Indonesia sesuai UU mata uang. Bahkan BI melarang seluruh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency. Hal yang sama juga berlaku bagi penyelenggara technology financial di Indonesia baik bank dan lembaga selain bank. (ARN/DYH)